SEJARAH ULUMUL HADITS
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sejarah berkembngnya hadits merupakan masa atau periode yang telah
dilalui oleh hadits dari masa dan lahirnya dan tumbuh dalam pengenalan,
penghayatan, dan pengalaman umat dari generasi ke generasi. Dengan
memperhatikan masa yang telah dilalui hadits sejak masa timbulnya atau lahirnya
di zaman Nabi SAW. Meneliti dan membina hadits, serta segala hal yang
mempengaruhi hadits tersebut. Para ulama muhadditsin membagi sejarah hadits
dalam bebrapa periode. Adapun para ulama penulis sejarah hadits berbeda-beda
dalam membagi periode sejarah hadits. Ada yang membagi dalam tiga periode, lima
periode, dan tujuh periode.
Dalam tataran praktiknya ilmu hadits sudah ada sejak periode awal
islam atau sejak periode Rosululloh SAW paling tidak dalam arti dasar-dasarnya.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
sejarah pada masa Rosululloh SAW?
2.
Bagaimana sejarah
pada masa Khulafaur Rasyidin?
3.
Bagaimana
sejarah pada masa Sahabat kecil dan Tabi’in besar?
C.
Tujuan Masalah
1.
Mengetahui sejarah
pada masa Rosululloh SAW.
2.
Mengetahui sejarah
pada masa Khulafaur Rasyidin.
3.
Mengetahui sejarah
pada masa Sahabat kecil dan Tabi’in besar.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Ulumul
Hadits
a.
Masa Rosululloh
SAW
1. Nabi dalam melaksanakan tugas
sucinya yakni sebagai Rasul berdakwah, menyampaikan dan mengajarkan risalah
islamiyah kepada umatnya. Nabi sebagai sumber hadis menjadi figur sentral yang
mendapat perhatian para sahabat. Segala aktifitas beliau seperti perkataan,
perbuatan dan segala keputusan beliau diingat dan disampaikan kepada sahabat
lain yang tidak menyaksikannya, karena tidak seluruh sahabat dapat hadir di
majelis Nabi dan tidak seluruhnya selalu menemani beliau. Bagi mereka yang
hadir dan mendapatkan hadits dari beliau berkewajiban menyampaikan apa yang
dilihat dan apa yang didengar dari Rasulullah SAW. Baik ayat-ayat Al-Qur’an
maupun Hadits-Hadits dari Rasulullah. Mereka sangat antusias dan patuh pada
perintah-perintah Nabi SAW.
2.
Masa
pertumbuhan hadits dan jalan-jalan para sahabat memperolehnya.
Para
sahabat mempelajari ayat-ayat Al-Qur’an yang jumlahnya banyak sekali memahami
maknanya, mempelajari pengertiannya, menerangkan hukum-hukumnya, kemudian
menghafalkannya serta menyampaikannya kepada sahabat lain.
Para sahabat itu senang sekali menghadiri majelis-majelis taklimnya
Rosululloh SAW.[1]
Para sahabat selalu bermudzakarah tentang hadits yang mereka dengarkan dari
Rosululloh SAW. Hadits pada masa Rosululloh SAW langsung dihafalkan saja oleh
para sahabat, disamping mereka juga menghafalkan Al-Qur’an. Meskipun derajat
hafalan mereka tidak sama, ada yang banyak jumlah hafalannya, ada yang sedikit,
dan ada pula yang sedang-sedang saja. Jadi, pada masa itu belum ada penulisan
hadits secara resmi.
3.
Penulisan
hadits pada zaman Rosululloh SAW.
Hadits
dan sunnah walaupun dia satu sumber yang penting pula dari sumber tasyri tidak
ditulis secara resmi sebagaimana Al-Qur’an pada masa Rosululloh SAW. Maka dari
itu perlu dicari sebab-sebab tidak ditulisnya hadits secara resmi pada masa
itu, boleh jadi tidak ditulisnya hadits secara resmi oleh para sahabat pada
zaman Rosululloh itu disebabkan berapa hal sebagai berikut:
a.
Mentaqwinkan
ucapan-ucapan, amalan-amalan, dan muamalah-muamalahnya adalah sangat sukar,
karena memerlukan sekelompok orang yang selalu menyertai nabi.
b.
Orang-orang
yang dapat menulis pada masa itu masih dapat dihitung dan sudah dikerahkan
tenaganya untuk menulis Al-Qur’an.
c.
Dikhawatirkan
akan bercampur dengan Al-Qur’an dengan secara tidak sengaja. Karena itu Nabi
SAW melarang mereka menulis hadts. Beliau khawatir sabda-sabdanya bercampur
dengan firman Illahi.[2]
b.
Masa Khulafaur
Rasyidin
Setelah Nabi wafat (11 H = 632 M),
sahabat tidak dapat lagi mendengar sabda-sabda, menyaksikan perbuatan-perbuatan
dan hal ihwal Nabi secara langsung. Kepada umatnya beliau juga meninggalkan dua
pegangan sebagai dasar bagi pedoman hidup, yaitu Al-Qur’an dan Hadits
(as-Sunnah) yang harus dipegangi dalam seluruh aspek kehidupan umat.
kendali kepemimpinan ummat
islam berada ditangan sahabat Nabi. Sahabat Nabi yang pertama menerima
kepemimpinan itu adalah Abu Bakar al-Shiddiq (wafat 13 H = 634 M), kemudian
disusul oleh ‘Umar bin al-Khaththab (wafat 23 H = 644 M), ‘Usman bin ‘Affan
(wafat 35 H = 656 M), dan ‘Aliy bin Abiy Thalib (wafat 40 H = 661 M), keempat
khalifa ini dalam sejarah dikenal denga sebutan al-Khulafa’ al-Rasyidin dan
periodenya biasa disebut dengan Zaman Sahabat Besar.
Periwayatan hadits pada masa sahabat
terutama masa al-Khulafa’ al-Rasyidun sejak tahun 11 H sampai 40 H, belum
begitu berkembang. Pada satu sisi, perhatian para sahabat masih terfokus pada
pemeliharaan dan penyebaran Al-Qur’an dan mereka berusaha membatasi periwayatan
hadits tersebut. Masa ini disebut dengan masa pembatasan dan memperketat periwayatan
(al-tatsabbut wa al-‘iqlah min al-riwayah). Pada sisi lain, meskipun perhatian
sahabat terpusat pada pemeliharaan dan penyebaran Al-Qur’an, tidak berarti
mereka tidak memegang hadits sebagaimana halnya yang mereka diterima secara
utuh ketika Nabi masih hidup. Mereka sangat berhati-hati dan membatasi diri
dalam meriwayatkan hadits itu.
Berikut ini dikemukakan sikap al-
Khulafa’ al-Rasyidin tentang periwayatan hadis Nabi.
1. Abu Bakar al-Shiddiq
Menurut muhammad bin Ahmad al-Dzahabiy (wafat 748 H = 1347
M), Abu Bakar merupakan sahabat Nabi yang pertama-tama menunjukkan
kehati-hatiannya dalam periwayatan hadis. Pernyataan al-Dzahabiy ini didasarkan
atas pengalaman Abu Bakar tatkala menghadapi kasus waris untuk seorang nenek.
Suatu ketika, ada seorang nenek menghadap kepada Khalifa Abu Bakar, memintah
hak waris dari harta yang ditinggal oleh cucunya. Abu Bakar menjawab, bahwa dia
tidak melihat petunjuk Quran dan praktek Nabi yang memberikan bagian harta
waris kepada nenek. Abu Bakar lalu bertanya kepada para sahabat.
Al-Mughirah bin Syu’bah menyatakan kepada Abu Bakar, bahwa nabi telah
memberikan bagian waris kepada nenek sebesar seperenam bagian.
Kasus diatas memberikan petunjuk, bahwa Abu Bakar ternyata
tidak bersegara menerima riwayat hadis, sebelum meneliti periwayatannya. Dalam
melakukan penelitian, Abu Bakar meminta kepada periwayat hadis untuk
menghadirkan saksi.
Karena Abu Bakar sangat berhati-hati dalam periwayatan
hadis, maka dapat dimaklumi bila jumlah hadis yang diriwayatkan relatif tidak banyak.Padahal
dia seorang sahabat yang telah bergaul lama dengan dan sangat akarab dengan
Nabi, mulai dari zaman sebelum Nabi hijrah ke Madinah sampai Nabi wafat. Dalam
pada itu harus pula dinyatakan, bahwa sebab lain sehingga Abu Bakar hanya
sedikit meriwayatkan hadis karena: (a) dia selalu dalam keadaan sibuk ketika
menjabat Khalifah; (b) kebutuhan akan hadis tidak sebanyak pada zaman
sesudahnya; (c) jarak waktu antara kewafatannya dengan kewafatan Nabi sangat
singkat.
2. Umar bin al-Khaththab
‘Umar dikenal sangat hati-hati dalam
periwayatan hadis. Hal ini terlihat, misalny, ketika ‘Umar mendengar hadis yang
disampaikan kepada Ubay bin Ka’ab. ‘Umar barulah bersedia menerima riwayat
hadis dai Ubay, setelah para sahabat yang lain, diantaranya Abu Dzarr menyatakan
telah mendengar pula hadis Nabi tentang apa yang dikemukakan oleh Ubay
tersebut. Akhirnya ‘Umar berkata kepada Ubay: “Demi Allah, sungguh saya tidak
menuduhmu telah berdusta. Saya berlaku demikian, karena saya ingin berhati-hati
dalam periwayatan hadis Nabi.
Kabajikan ‘Umar melarang para sahabat Nabi memperbanyak
periwayatan hadis, sesungguhnya tidaklah berarti bahwa ‘Umar sama sekali
melarang para sahabat meriwayatkan hadis. Laranga ‘Umar tampaknya tidak tertuju
kepada periwayatan itu sendiri, tetapi dimaksudkan: (a) Agar masyarakat lebih
berhati-hati dalam periwayatan hadis; dan (b) agar perhatian masyarakat
terhadap Quran tidak terganggu.
Sebagian ahli hadits mengemukakan bahwa Abu Bakar dan ‘Umar
menggariskan bahwa hadits dapat diterima apabila diserta saksi atau
setidak-tidaknya periwayat berani bersumpah. Pendapat ini menurut al-Siba’i,
sampai wafatnya ‘Umar juga menerima beberapa hadits meskipun hanya diriwayatkan
oleh seorang periwayat hadits. Untuk masalah tertentu sering kali ‘Umar juga
menerima periwayatan tanpa saksi dari orang tertentu, seperti hadits-hadits
dari ‘Aisyah. Manurut al-Siba’i, sampai wafatnya ‘Umar hadits belum banyak yang
tersebar dan masih dalam keadaan terjaga di hati para sahabat. Baru pada masa
‘Utsman ibn ‘Affan, periwayatan hadits diperlonggar.
3. Usman bin ‘Affan
Secara umum,kebijakan ‘Usman tentang periwayatan hadis tidak
jauh berbedah dengan apa yang telah ditempuh oleh kedua Khalifa pendahulunya.
Hanya saja, langkah ‘Usman tidaklah setegas langkah ‘Umar bin al-Khaththab.
Dalam suatu kesempatan khutbah, ‘Usman memintah kepada para
sahabat agat tidak banyak meriwayatkan hadis yang mereka tidak pernah mendengar
hadis itu pada zaman Abu Bakar dan ‘Umar. Pernyataan ‘Usman ini menunjukkan
pengakuan ‘Usman atas hati-hati kedua Khalifah pendahulunya. Sikap hati-hati
itu ingin dilanjutkan pada zaman kekhalifahannya.
Dengan demikian, para sahabat Nabi sangat kritis dan
hati-hati dalam periwayatan hadits. Tradisi kritis dikalangan sahabat
menunjukkan bahwa mereka sangat peduli tentang kebenaran dalam periwayatan
hadits : pertama, para sahabat, sebagaimana dirintis oleh al-Khulafa’
al-Rasyidun, bersikap cermat dan berhati-hati dalam menerima suatu riwayat. Ini
dikarenakan meriwayatkan hadits Nabi merupakan hal penting, sebagai wujud kewajiban
taat kepadanya. Berhubung tidak setiap periwayat menerima riwayat langsung dari
Nabi, maka dibutuhkan perantara antara periwayat setelah sahabat, bahkan antara
sahabat sendiri dengan Rasulullah SAW. Karena tidak dimungkinkan pertemuan
langsung dengannya. Kedua, para sahabat melakukan penelitian dengan
cermat terhadap periwayat maupun isi riwayat itu sendiri. Ketiga, para
sahabat sebagaimana dipelopori oleh Abu Bakar, mengharuskan adanya saksi dalam
periwayatan hadits. Keempat, para sahabat, sebagaimana dipelopori ‘Ali
bin ‘Abi Thalib, meminta sumpah dari periwayat hadits. Kelima, para
sahabat menerima riwayat dari satu orang yang terpercaya. Keenam,
diantara para sahabat terjadi penerimaan dan periwayatan hadits tanpa
pengecekan terlebih dahulu apakah benar dari Nabi atau perkataan orang lain
dikarenakan mereka memiliki agama yang kuat sehingga tidak mungkin pendusta.
Sahabat ‘Umar bin al-Khathab juga pernah ingin mencoba
menghimpun hadits tetapi setelah bermusyawarah dan beristikharah selama satu bulan
beliau berkata :
“sesungguhnya aku punya hasrat menulis sunnah, aku telah
menyebutkan suatu kaum sebelum kalian yang menulis beberapa buku kemudian
mereka sibuk dengannya dan meninggalkan kitab Allah SWT. Demi Allah
sesungguhnya aku tidak akan mencampur adukkan kitab Allah dengan sesuatu yang
lain selamanya”.
Kekhawatiran ‘Umar bin al-Khathab dalam pembukuan hadits
adalah tasyabbuh atau menyerupai dengan ahli kitab yakni Yahudi dan
Nasrani yang meninggalkan kitab Allah dan menggantikannya dengan kalam mereka
dan menempatkan biografi para Nabi mereka di dalam kitab Tuhan mereka. ‘Umar
khawatir umat islam meninggalkan Al-Qur’an dan hanya membaca hadits. Jadi Abu
Bakar dan ‘Umar tidak berarti melarang pengkodifikasian hadits tetapi melihat
kondisi pada masanya belum memungkinkan untuk itu.
Dalam praktiknya, ada dua cara sahabat meriwayatkan suatu
hadits, yaitu :
1. Dengan lafazh asli, yakni menurut
lafazh yang mereka terima dari Nabi SAW. Yang mereka hafal benar lafazh dari
Nabi.
2. Dengan maknanya saja, yakni mereka
meriwayatkan maknanya karena tidak hafal lafazh asli dari Nabi SAW.
4.
Pada masa ‘Ali r.a., timbul perpecahan dikalangan umat islam akibat konflik
politik antara pendukung ‘Ali dengan Mu’awiyah. Umat islam terpecah menjadi
tiga golongan :
1. Syi’ah, pendukung setia terhadap
‘Ali, diantara mereka fanatik dan terjadi pengkultusan terhadap ‘Ali.
2. Khawarij, golongan pemberontak yang
tidak setuju dengan perdamaian (tahkim) dua kelompok yang bertikai. Kelompok
ini semula menjadi pendukung ‘Ali tetapi kemudian mereka keluar karena tidak
menyetuji perdamaian.
3. Jumhur Muslimin, diantara mereka ada
yang mendukung pemerintahan ‘Ali, ada yang mendukung pemerintahan Mu’awiyah dan
ada pula yang netral tidak mau melibatkan diri dalam kancah konflik.
1.
Perhatian
sahabat terhadap hadits nabi:
a.
Perintah
mentablighkan hadits
Menurut haditsnya Zaid bin Tsabit yang
diriwayatkan oleh Abu Daud dan Tirmidzi, Nabi SAW mendorong para sahabat untuk
mentablighkan dan menyampaikan hadits.
b.
Ancaman terhadap
pendustaan dalam mentablighkan hadits.
Selain
memerintahkan untuk mentablighkan hadits, beliau juga mengingatkan para sahabat
supaya berhati-hati dan teliti benar-benar terhadap sesuatu hadits yang hendak
disampaikan kepada orang lain.
Dan karena
kedudukan hadits di dalam tasyri’, serta karena fungsi hadits terhadap Al-Qur’an
maka para sahabat menaruh perhatian yang sangat besar kepada hadits, mereka
sangat mencintai hadits seperti halnya mereka mencintai al-qur’an. Merekapun
menghafalkan lafad maupun maknanya dan memahaminya, mengerti maksudnya dengan fitrah
arabiahnya. Demikian pula mereka selalu mendengarkan petunjuk Nabi SAW dan
menyaksikan perbuatan-perbuatan maupun akhlak beliau.
1.
Kehati-hatian
para sahabat dalam periwayatan hadits
Para sahabat
benar-benar mengerti assunnah, hingga mereka pun berpegang teguh dengannya.
Merekapun mengikuti Rosul. Para sahabat juga berhati-hati dalam periwayatan
hadits yang dating dari beliau karena takut terjadi kekeliruan dan kekhawatiran
akan tercampurnya sunnah dengan kedustaan atau perubahan. Mereka berlaku adil
dalam periwayatan hadits yang dating dari Rosul.
Menurut
pandangan para sahabat disangka terjadinya kekeliruan kedustaan kepada
Rosululloh padahal Rosululloh sungguh telah melarang pada perbuatan dusta
kepada beliau dan jangan melarang pada periwayatan yang dusta. Umar menghendaki
agar kaum muslimin memelihara Al-Qur’an dengan baik, kemudian baru
memperhatikan al-hadits yang belum dibukukan seluruhnya pada zaman Rosululloh
SAW. Seperti Al-Qur’an, maka umat pun memprogram kaum muslimin kepada
penelitian ini dan tidak memperbanyak periwayatan lantaran khawatir akan
terjatuh dalam kesalahan.
c.
Masa Sahabat
kecil dan Tabi’in besar
Periode ini adalah masa sesudah meninggalnya Khalifah Abbasiyah ke
XVII Al-Mu’tasim (W. 658 H.) sampai sekarang. Periode ini dinamakan Ahdu
As-sarhi Wa Al-Tami’ Wa At-Takhriji Wa Al-Bahtsi, yaitu masa pensyarahan,
penghimpunan, pentahrij-an, dan pembahasan.
Usaha-usaha yang dilakukan oleh ulama dalam masa ini adalah
menerbitkan isi kitab-kitab hadits, menyaringnya, dan menyusun Kitab Tahrij,
serta membuat kitab-kitab tami’ yang umum.
Pada periode ini disusun Kitab Zawa’id, yaitu usaha mengumpulkan
hadits yang terdapat dalam kitab sebelumnya ke dalam sebuah kitab tertentu,
diantaranya Kitab Zawa’id susunan Ibnu Majah, Kitab Zawa’id As-sunan Al-qubro
disusun oleh Bushiry.
Pada pertengahan abad kedua hijriyah sampai abad ketiga hijriyah
ilmu hadits mulai ditulis dan dikodifikasikan dalam bentuk yang sederhana,
belum terpisah dari ilmu-ilmu lain, belum berdiri sendiri, masih bercampur
dengan ilmu-ilmu lain atau berbagai buku serta berdiri secara terpisah.
Misalnya ilmu hadits bercampur dengan ilmu ushul fiqh, seperti dalam
kitab-kitab Ar-Risyalah yang ditulis oleh Asy-Syfi’i, atau campur dengan fiqh
seperti Kitab Al-Umm dan solusi hadits-hadits yang kontra dengan diberi nama
Ikhtilaf Al-Hadits karya Asy-Syfi’i (W. 204 H.).
Sesuai dengan pesatnya perkembangan hadits yang disebut pada masa
kejayaan atau keemasan hadits yaitu pada abad ketiga hijriyah perkembangan
penulisan ilmu hadits juga berpesat, karena perkembangan keduanya secara
beriringan. Namun, penulisan ilmu hadits masih terpisah-pisah belum menyatu dan
menjadi ilmu yang berdiri sendiri ia masih dalm bentuk bab-bab saja. Mushtafa
As-Shiba’i mengatakan orang yang pertama kali menulis ilmu hadits adalah Ali
bin Al-Madini syaikhnya Al-Bukhari, Muslim dan At-Tirmidzi.[3]
Dr. Ahmad Umar Hasyim juga menyatakan bahwa orang yang pertama yang menulis
ilmu hadits adalah Ali bin Al-Madini dan permasalahannya sebagaimana yang
ditulis oleh Al-Bukhari dan Muslim.[4]
Diantara kitab-kitab ilmu hadits pada ilmu ini adalah Kitab Mukhtalif Al-Hadits
yaitu Ikhtilaf Al-Hadits karya Ibnu Qutaiba (W. 276 H.). Kedua kitab tersebut
ditulis untuk menjawab tantangan dari serangan kelompok teolog yang sedang
berkembang pada masa itu terutama dari golongan mu’tazilah dan ahli bid’ah.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Para sahabat mempelajari ayat-ayat Al-Qur’an yang jumlahnya banyak
sekali memahami maknanya, mempelajari pengertiannya, menerangkan
hukum-hukumnya, kemudian menghafalkannya serta menyampaikannya kepada sahabat
lain.
Rosululloh juga mengingatkan para sahabat supaya berhati-hati dan
teliti benar-benar terhadap sesuatu hadits yang hendak disampaikan kepada orang
lain.
Pada pertengahan abad kedua hijriyah sampai abad ketiga hijriyah
ilmu hadits mulai ditulis dan dikodifikasikan dalam bentuk yang sederhana, belum
terpisah dari ilmu-ilmu lain, belum berdiri sendiri, masih bercampur dengan
ilmu-ilmu lain atau berbagai buku serta berdiri secara terpisah.
B.
Kritik dan
Saran
Kami menyadari bahwa
makalah ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu kami mengharapkan kritik
dan saran dari para pembaca demi kesempurnaan makalah ini. Terima kasih.
Daftar Pustaka
Shoim,
Drs. Muhammad. Ulumul Hadits. Tulungagung: Sekolah Tinggi Agama Islam
Negeri, 2000.
Negeri, 2000.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar