Rabu, 15 Maret 2017

SEJARAH ULUMUL HADITS

SEJARAH ULUMUL HADITS

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Sejarah berkembngnya hadits merupakan masa atau periode yang telah dilalui oleh hadits dari masa dan lahirnya dan tumbuh dalam pengenalan, penghayatan, dan pengalaman umat dari generasi ke generasi. Dengan memperhatikan masa yang telah dilalui hadits sejak masa timbulnya atau lahirnya di zaman Nabi SAW. Meneliti dan membina hadits, serta segala hal yang mempengaruhi hadits tersebut. Para ulama muhadditsin membagi sejarah hadits dalam bebrapa periode. Adapun para ulama penulis sejarah hadits berbeda-beda dalam membagi periode sejarah hadits. Ada yang membagi dalam tiga periode, lima periode, dan tujuh periode.
Dalam tataran praktiknya ilmu hadits sudah ada sejak periode awal islam atau sejak periode Rosululloh SAW paling tidak dalam arti dasar-dasarnya.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana sejarah pada masa Rosululloh SAW?
2.      Bagaimana sejarah pada masa Khulafaur Rasyidin?
3.      Bagaimana sejarah pada masa Sahabat kecil dan Tabi’in besar?
C.    Tujuan Masalah
1.      Mengetahui sejarah pada masa Rosululloh SAW.
2.      Mengetahui sejarah pada masa Khulafaur Rasyidin.
3.      Mengetahui sejarah pada masa Sahabat kecil dan Tabi’in besar.




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Sejarah Ulumul Hadits
a.      Masa Rosululloh SAW
1.      Nabi dalam melaksanakan tugas sucinya yakni sebagai Rasul berdakwah, menyampaikan dan mengajarkan risalah islamiyah kepada umatnya. Nabi sebagai sumber hadis menjadi figur sentral yang mendapat perhatian para sahabat. Segala aktifitas beliau seperti perkataan, perbuatan dan segala keputusan beliau diingat dan disampaikan kepada sahabat lain yang tidak menyaksikannya, karena tidak seluruh sahabat dapat hadir di majelis Nabi dan tidak seluruhnya selalu menemani beliau. Bagi mereka yang hadir dan mendapatkan hadits dari beliau berkewajiban menyampaikan apa yang dilihat dan apa yang didengar dari Rasulullah SAW. Baik ayat-ayat Al-Qur’an maupun Hadits-Hadits dari Rasulullah. Mereka sangat antusias dan patuh pada perintah-perintah Nabi SAW.  
2.      Masa pertumbuhan hadits dan jalan-jalan para sahabat memperolehnya.
Para sahabat mempelajari ayat-ayat Al-Qur’an yang jumlahnya banyak sekali memahami maknanya, mempelajari pengertiannya, menerangkan hukum-hukumnya, kemudian menghafalkannya serta menyampaikannya kepada sahabat lain.
Para sahabat itu senang sekali menghadiri majelis-majelis taklimnya Rosululloh SAW.[1] Para sahabat selalu bermudzakarah tentang hadits yang mereka dengarkan dari Rosululloh SAW. Hadits pada masa Rosululloh SAW langsung dihafalkan saja oleh para sahabat, disamping mereka juga menghafalkan Al-Qur’an. Meskipun derajat hafalan mereka tidak sama, ada yang banyak jumlah hafalannya, ada yang sedikit, dan ada pula yang sedang-sedang saja. Jadi, pada masa itu belum ada penulisan hadits secara resmi.
3.      Penulisan hadits pada zaman Rosululloh SAW.
Hadits dan sunnah walaupun dia satu sumber yang penting pula dari sumber tasyri tidak ditulis secara resmi sebagaimana Al-Qur’an pada masa Rosululloh SAW. Maka dari itu perlu dicari sebab-sebab tidak ditulisnya hadits secara resmi pada masa itu, boleh jadi tidak ditulisnya hadits secara resmi oleh para sahabat pada zaman Rosululloh itu disebabkan berapa hal sebagai berikut:
a.       Mentaqwinkan ucapan-ucapan, amalan-amalan, dan muamalah-muamalahnya adalah sangat sukar, karena memerlukan sekelompok orang yang selalu menyertai nabi.
b.      Orang-orang yang dapat menulis pada masa itu masih dapat dihitung dan sudah dikerahkan tenaganya untuk menulis Al-Qur’an.
c.       Dikhawatirkan akan bercampur dengan Al-Qur’an dengan secara tidak sengaja. Karena itu Nabi SAW melarang mereka menulis hadts. Beliau khawatir sabda-sabdanya bercampur dengan firman Illahi.[2]

b.      Masa Khulafaur Rasyidin
Setelah Nabi wafat (11 H = 632 M), sahabat tidak dapat lagi mendengar sabda-sabda, menyaksikan perbuatan-perbuatan dan hal ihwal Nabi secara langsung. Kepada umatnya beliau juga meninggalkan dua pegangan sebagai dasar bagi pedoman hidup, yaitu Al-Qur’an dan Hadits (as-Sunnah) yang harus dipegangi dalam seluruh aspek kehidupan umat.
 kendali kepemimpinan ummat islam berada ditangan sahabat Nabi. Sahabat Nabi yang pertama menerima kepemimpinan itu adalah Abu Bakar al-Shiddiq (wafat 13 H = 634 M), kemudian disusul oleh ‘Umar bin al-Khaththab (wafat 23 H = 644 M), ‘Usman bin ‘Affan (wafat 35 H = 656 M), dan ‘Aliy bin Abiy Thalib (wafat 40 H = 661 M), keempat khalifa ini dalam sejarah dikenal denga sebutan al-Khulafa’ al-Rasyidin dan periodenya biasa disebut dengan Zaman Sahabat Besar.
Periwayatan hadits pada masa sahabat terutama masa al-Khulafa’ al-Rasyidun sejak tahun 11 H sampai 40 H, belum begitu berkembang. Pada satu sisi, perhatian para sahabat masih terfokus pada pemeliharaan dan penyebaran Al-Qur’an dan mereka berusaha membatasi periwayatan hadits tersebut. Masa ini disebut dengan masa pembatasan dan memperketat periwayatan (al-tatsabbut wa al-‘iqlah min al-riwayah). Pada sisi lain, meskipun perhatian sahabat terpusat pada pemeliharaan dan penyebaran Al-Qur’an, tidak berarti mereka tidak memegang hadits sebagaimana halnya yang mereka diterima secara utuh ketika Nabi masih hidup. Mereka sangat berhati-hati dan membatasi diri dalam meriwayatkan hadits itu.
Berikut ini dikemukakan sikap al- Khulafa’ al-Rasyidin tentang periwayatan hadis Nabi.
1.      Abu Bakar al-Shiddiq
Menurut muhammad bin Ahmad al-Dzahabiy (wafat 748 H = 1347 M), Abu Bakar merupakan sahabat Nabi yang pertama-tama menunjukkan kehati-hatiannya dalam periwayatan hadis. Pernyataan al-Dzahabiy ini didasarkan atas pengalaman Abu Bakar tatkala menghadapi kasus waris untuk seorang nenek. Suatu ketika, ada seorang nenek menghadap kepada Khalifa Abu Bakar, memintah hak waris dari harta yang ditinggal oleh cucunya. Abu Bakar menjawab, bahwa dia tidak melihat petunjuk Quran dan praktek Nabi yang memberikan bagian harta waris kepada nenek. Abu Bakar lalu bertanya  kepada para sahabat. Al-Mughirah bin Syu’bah menyatakan kepada Abu Bakar, bahwa nabi telah memberikan bagian waris kepada nenek sebesar seperenam bagian.
Kasus diatas memberikan petunjuk, bahwa Abu Bakar ternyata tidak bersegara menerima riwayat hadis, sebelum meneliti periwayatannya. Dalam melakukan penelitian, Abu Bakar meminta kepada periwayat hadis untuk menghadirkan saksi.
Karena Abu Bakar sangat berhati-hati dalam periwayatan hadis, maka dapat dimaklumi bila jumlah hadis yang diriwayatkan relatif tidak banyak.Padahal dia seorang sahabat yang telah bergaul lama dengan dan sangat akarab dengan Nabi, mulai dari zaman sebelum Nabi hijrah ke Madinah sampai Nabi wafat. Dalam pada itu harus pula dinyatakan, bahwa sebab lain sehingga Abu Bakar hanya sedikit meriwayatkan hadis karena: (a) dia selalu dalam keadaan sibuk ketika menjabat Khalifah; (b) kebutuhan akan hadis tidak sebanyak pada zaman sesudahnya; (c) jarak waktu antara kewafatannya dengan kewafatan Nabi sangat singkat.
2.       Umar bin al-Khaththab
‘Umar dikenal sangat hati-hati dalam periwayatan hadis. Hal ini terlihat, misalny, ketika ‘Umar mendengar hadis yang disampaikan kepada Ubay bin Ka’ab. ‘Umar barulah bersedia menerima riwayat hadis dai Ubay, setelah para sahabat yang lain, diantaranya Abu Dzarr menyatakan telah mendengar pula hadis Nabi tentang apa yang dikemukakan oleh Ubay tersebut. Akhirnya ‘Umar berkata kepada Ubay: “Demi Allah, sungguh saya tidak menuduhmu telah berdusta. Saya berlaku demikian, karena saya ingin berhati-hati dalam periwayatan hadis Nabi.
Kabajikan ‘Umar melarang para sahabat Nabi memperbanyak periwayatan hadis, sesungguhnya tidaklah berarti bahwa ‘Umar sama sekali melarang para sahabat meriwayatkan hadis. Laranga ‘Umar tampaknya tidak tertuju kepada periwayatan itu sendiri, tetapi dimaksudkan: (a) Agar masyarakat lebih berhati-hati dalam periwayatan hadis; dan (b) agar perhatian masyarakat terhadap Quran tidak terganggu.
Sebagian ahli hadits mengemukakan bahwa Abu Bakar dan ‘Umar menggariskan bahwa hadits dapat diterima apabila diserta saksi atau setidak-tidaknya periwayat berani bersumpah. Pendapat ini menurut al-Siba’i, sampai wafatnya ‘Umar juga menerima beberapa hadits meskipun hanya diriwayatkan oleh seorang periwayat hadits. Untuk masalah tertentu sering kali ‘Umar juga menerima periwayatan tanpa saksi dari orang tertentu, seperti hadits-hadits dari ‘Aisyah. Manurut al-Siba’i, sampai wafatnya ‘Umar hadits belum banyak yang tersebar dan masih dalam keadaan terjaga di hati para sahabat. Baru pada masa ‘Utsman ibn ‘Affan, periwayatan hadits diperlonggar.
3.       Usman bin ‘Affan
Secara umum,kebijakan ‘Usman tentang periwayatan hadis tidak jauh berbedah dengan apa yang telah ditempuh oleh kedua Khalifa pendahulunya. Hanya saja, langkah ‘Usman tidaklah setegas langkah ‘Umar bin al-Khaththab.
Dalam suatu kesempatan khutbah, ‘Usman memintah kepada para sahabat agat tidak banyak meriwayatkan hadis yang mereka tidak pernah mendengar hadis itu pada zaman Abu Bakar dan ‘Umar. Pernyataan ‘Usman ini menunjukkan pengakuan ‘Usman atas hati-hati kedua Khalifah pendahulunya. Sikap hati-hati itu ingin dilanjutkan pada zaman kekhalifahannya.
Dengan demikian, para sahabat Nabi  sangat kritis dan hati-hati dalam periwayatan hadits. Tradisi kritis dikalangan sahabat menunjukkan bahwa mereka sangat peduli tentang kebenaran dalam periwayatan hadits : pertama, para sahabat, sebagaimana dirintis oleh al-Khulafa’ al-Rasyidun, bersikap cermat dan berhati-hati dalam menerima suatu riwayat. Ini dikarenakan meriwayatkan hadits Nabi merupakan hal penting, sebagai wujud kewajiban taat kepadanya. Berhubung tidak setiap periwayat menerima riwayat langsung dari Nabi, maka dibutuhkan perantara antara periwayat setelah sahabat, bahkan antara sahabat sendiri dengan Rasulullah SAW. Karena tidak dimungkinkan pertemuan langsung dengannya. Kedua, para sahabat melakukan penelitian dengan cermat terhadap periwayat maupun isi riwayat itu sendiri. Ketiga, para sahabat sebagaimana dipelopori oleh Abu Bakar, mengharuskan adanya saksi dalam periwayatan hadits. Keempat, para sahabat, sebagaimana dipelopori ‘Ali bin ‘Abi Thalib, meminta sumpah dari periwayat hadits. Kelima, para sahabat menerima riwayat dari satu orang yang terpercaya. Keenam, diantara para sahabat terjadi penerimaan dan periwayatan hadits tanpa pengecekan terlebih dahulu apakah benar dari Nabi atau perkataan orang lain dikarenakan mereka memiliki agama yang kuat sehingga tidak mungkin pendusta.
Sahabat ‘Umar bin al-Khathab juga pernah ingin mencoba menghimpun hadits tetapi setelah bermusyawarah dan beristikharah selama satu bulan beliau berkata :
“sesungguhnya aku punya hasrat menulis sunnah, aku telah menyebutkan suatu kaum sebelum kalian yang menulis beberapa buku kemudian mereka sibuk dengannya dan meninggalkan kitab Allah SWT. Demi Allah sesungguhnya aku tidak akan mencampur adukkan kitab Allah dengan sesuatu yang lain selamanya”.
Kekhawatiran ‘Umar bin al-Khathab dalam pembukuan hadits adalah tasyabbuh atau menyerupai dengan ahli kitab yakni Yahudi dan Nasrani yang meninggalkan kitab Allah dan menggantikannya dengan kalam mereka dan menempatkan biografi para Nabi mereka di dalam kitab Tuhan mereka. ‘Umar khawatir umat islam meninggalkan Al-Qur’an dan hanya membaca hadits. Jadi Abu Bakar dan ‘Umar tidak berarti melarang pengkodifikasian hadits tetapi melihat kondisi pada masanya belum memungkinkan untuk itu.
Dalam praktiknya, ada dua cara sahabat meriwayatkan suatu hadits, yaitu :
1.    Dengan lafazh asli, yakni menurut lafazh yang mereka terima dari Nabi SAW. Yang mereka hafal benar lafazh dari Nabi.
2.    Dengan maknanya saja, yakni mereka meriwayatkan maknanya karena tidak hafal lafazh asli dari Nabi SAW.
4. Pada masa ‘Ali r.a., timbul perpecahan dikalangan umat islam akibat konflik politik antara pendukung ‘Ali dengan Mu’awiyah. Umat islam terpecah menjadi tiga golongan :
1.    Syi’ah, pendukung setia terhadap ‘Ali, diantara mereka fanatik dan terjadi pengkultusan terhadap ‘Ali.
2.    Khawarij, golongan pemberontak yang tidak setuju dengan perdamaian (tahkim) dua kelompok yang bertikai. Kelompok ini semula menjadi pendukung ‘Ali tetapi kemudian mereka keluar karena tidak menyetuji perdamaian.
3.    Jumhur Muslimin, diantara mereka ada yang mendukung pemerintahan ‘Ali, ada yang mendukung pemerintahan Mu’awiyah dan ada pula yang netral tidak mau melibatkan diri dalam kancah konflik.

1.      Perhatian sahabat terhadap hadits nabi:
a.       Perintah mentablighkan hadits
     Menurut haditsnya Zaid bin Tsabit yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Tirmidzi, Nabi SAW mendorong para sahabat untuk mentablighkan dan menyampaikan hadits.
b.      Ancaman terhadap pendustaan dalam mentablighkan hadits.
Selain memerintahkan untuk mentablighkan hadits, beliau juga mengingatkan para sahabat supaya berhati-hati dan teliti benar-benar terhadap sesuatu hadits yang hendak disampaikan kepada orang lain.
Dan karena kedudukan hadits di dalam tasyri’, serta karena fungsi hadits terhadap Al-Qur’an maka para sahabat menaruh perhatian yang sangat besar kepada hadits, mereka sangat mencintai hadits seperti halnya mereka mencintai al-qur’an. Merekapun menghafalkan lafad maupun maknanya dan memahaminya, mengerti maksudnya dengan fitrah arabiahnya. Demikian pula mereka selalu mendengarkan petunjuk Nabi SAW dan menyaksikan perbuatan-perbuatan maupun akhlak beliau.
1.      Kehati-hatian para sahabat dalam periwayatan hadits
Para sahabat benar-benar mengerti assunnah, hingga mereka pun berpegang teguh dengannya. Merekapun mengikuti Rosul. Para sahabat juga berhati-hati dalam periwayatan hadits yang dating dari beliau karena takut terjadi kekeliruan dan kekhawatiran akan tercampurnya sunnah dengan kedustaan atau perubahan. Mereka berlaku adil dalam periwayatan hadits yang dating dari Rosul.
Menurut pandangan para sahabat disangka terjadinya kekeliruan kedustaan kepada Rosululloh padahal Rosululloh sungguh telah melarang pada perbuatan dusta kepada beliau dan jangan melarang pada periwayatan yang dusta. Umar menghendaki agar kaum muslimin memelihara Al-Qur’an dengan baik, kemudian baru memperhatikan al-hadits yang belum dibukukan seluruhnya pada zaman Rosululloh SAW. Seperti Al-Qur’an, maka umat pun memprogram kaum muslimin kepada penelitian ini dan tidak memperbanyak periwayatan lantaran khawatir akan terjatuh dalam kesalahan.

c.       Masa Sahabat kecil dan Tabi’in besar
Periode ini adalah masa sesudah meninggalnya Khalifah Abbasiyah ke XVII Al-Mu’tasim (W. 658 H.) sampai sekarang. Periode ini dinamakan Ahdu As-sarhi Wa Al-Tami’ Wa At-Takhriji Wa Al-Bahtsi, yaitu masa pensyarahan, penghimpunan, pentahrij-an, dan pembahasan.
Usaha-usaha yang dilakukan oleh ulama dalam masa ini adalah menerbitkan isi kitab-kitab hadits, menyaringnya, dan menyusun Kitab Tahrij, serta membuat kitab-kitab tami’ yang umum.
Pada periode ini disusun Kitab Zawa’id, yaitu usaha mengumpulkan hadits yang terdapat dalam kitab sebelumnya ke dalam sebuah kitab tertentu, diantaranya Kitab Zawa’id susunan Ibnu Majah, Kitab Zawa’id As-sunan Al-qubro disusun oleh Bushiry.
Pada pertengahan abad kedua hijriyah sampai abad ketiga hijriyah ilmu hadits mulai ditulis dan dikodifikasikan dalam bentuk yang sederhana, belum terpisah dari ilmu-ilmu lain, belum berdiri sendiri, masih bercampur dengan ilmu-ilmu lain atau berbagai buku serta berdiri secara terpisah. Misalnya ilmu hadits bercampur dengan ilmu ushul fiqh, seperti dalam kitab-kitab Ar-Risyalah yang ditulis oleh Asy-Syfi’i, atau campur dengan fiqh seperti Kitab Al-Umm dan solusi hadits-hadits yang kontra dengan diberi nama Ikhtilaf Al-Hadits karya Asy-Syfi’i (W. 204 H.).
Sesuai dengan pesatnya perkembangan hadits yang disebut pada masa kejayaan atau keemasan hadits yaitu pada abad ketiga hijriyah perkembangan penulisan ilmu hadits juga berpesat, karena perkembangan keduanya secara beriringan. Namun, penulisan ilmu hadits masih terpisah-pisah belum menyatu dan menjadi ilmu yang berdiri sendiri ia masih dalm bentuk bab-bab saja. Mushtafa As-Shiba’i mengatakan orang yang pertama kali menulis ilmu hadits adalah Ali bin Al-Madini syaikhnya Al-Bukhari, Muslim dan At-Tirmidzi.[3] Dr. Ahmad Umar Hasyim juga menyatakan bahwa orang yang pertama yang menulis ilmu hadits adalah Ali bin Al-Madini dan permasalahannya sebagaimana yang ditulis oleh Al-Bukhari dan Muslim.[4] Diantara kitab-kitab ilmu hadits pada ilmu ini adalah Kitab Mukhtalif Al-Hadits yaitu Ikhtilaf Al-Hadits karya Ibnu Qutaiba (W. 276 H.). Kedua kitab tersebut ditulis untuk menjawab tantangan dari serangan kelompok teolog yang sedang berkembang pada masa itu terutama dari golongan mu’tazilah dan ahli bid’ah.




















BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Para sahabat mempelajari ayat-ayat Al-Qur’an yang jumlahnya banyak sekali memahami maknanya, mempelajari pengertiannya, menerangkan hukum-hukumnya, kemudian menghafalkannya serta menyampaikannya kepada sahabat lain.
Rosululloh juga mengingatkan para sahabat supaya berhati-hati dan teliti benar-benar terhadap sesuatu hadits yang hendak disampaikan kepada orang lain.
Pada pertengahan abad kedua hijriyah sampai abad ketiga hijriyah ilmu hadits mulai ditulis dan dikodifikasikan dalam bentuk yang sederhana, belum terpisah dari ilmu-ilmu lain, belum berdiri sendiri, masih bercampur dengan ilmu-ilmu lain atau berbagai buku serta berdiri secara terpisah.
B.     Kritik dan Saran
Kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca demi kesempurnaan makalah ini. Terima kasih.










Daftar Pustaka

Shoim, Drs. Muhammad. Ulumul Hadits. Tulungagung: Sekolah Tinggi Agama Islam
            Negeri, 2000.






[1] Ibnu Hajar Al-Asqalany: Fathul Bari Juz 1, t.t, hlm. 95
[2] M. Hasbi Ash Shiddieqy: Sejarah dan Pengantar Imu Hadits, 1989, hlm. 54.
[3]As-Shiba’i. As-Sunnah…, hlm. 107
[4] Ahmad Umar Hasyim As-Sunnah An-Nabawiyyah…, hlm. 398

Tidak ada komentar:

Posting Komentar