ISLAM NUSANTARA
Oleh: Nuruddin, M.Pd.I
A. Pendahuluan
Gagasan baru
tentang Islam Nusantara baru muncul secara terstruktur sekitar dua tahun
terakhir. Pro kontra terhadap sebuah gagasan baru pasti datang silih berganti.
Bahkan tidak jarang yang menuduh dan memberikan stigma negative atas sebuah
gagasan tanpa berdialog terlebih dahulu dengan komunitas yang memunculkan
gagasan tersebut.
Diakui atau
tidak, NU adalah ormas Islam pertama yang mengarusutamakan gagasan Islam
Nusantara itu, kendatipun harus diakui belum semua warga nahdliyin mengetahui
dan memahami gagasan tersebut. Sejatinya gagasan itu lahir dari pergumulan
akademik para elit intelektual NU, terutama Prof. Dr. KH. Said Agil Siraj dan
para akademisi STAINU serta UNU Jakarta, terhitung sejak dibukanya Program
Pascasarjana Kajian Islam Nusantara di penghujung tahun 2012 lalu. Kendatipun
lahir dari rahim NU, Islam Nusantara akan dipersembahkan untuk peradaban dan
keadaban seluruh umat manusia.
Ide Islam
Nusantara sebenarnya sangat bersahaja. Bertitik tolak dari fakta bahwa
mayoritas umat Islam Indonesia berpaham dan mengikuti ajaran
AhlussunnahWaljamaah (Aswaja), dan sebagian besar pengikut Aswaja itu adalah
warga NU. Dalam diskursus para elit intelektual NU, Aswaja adalah manhajul
hayat wal fikr (pedoman hidup dan metode berfikir) dengan berbasis pada sikap
mulia yaitu tawassuth(moderat), tawâzun (seimbang/equal), tasâmuh (toleran)
dani'tidal (selalu berpihak pada kebenaran). Keempat pilar mulia itulah yang
menjadi pijakan dalam bersikap, bertindak, bertutur kata, bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Bahkan keempat pilar tersebut diharapkan dapat menjadi
pisau analisis dalam pergumulan keilmuan dan dalam menghadapi benturan
peradaban yang saling berpenetrasi, berinfiltrasi dan berakulturasi satu dengan
lainnya.
Selain itu,
NU dengan Aswajanya tetap menjadi garda terdepan dalam menjaga tradisi dan
kearifan lokal Nusantara. Hal itu terlihat dan terkonstruk secara terstruktur
dan massif dalam tardisi dan laku “Arumaniz” (baca; tradisi baca Aurad/wiridan,
Ratib, Manaqib, Maulid, Nasyid, Istighotsah dan Ziarah ulama atau makam
auliya').
Islam
Nusantara sejatinya adalah gagasan progresif yang berikhtiar untuk mendialog
kan antara inti sari ajaran Islam ala Aswaja dengan budaya dan peradaban
Nusantara yang tidak saling bertentangan bahkan saling menyempurnakan satu sama
lainnya. Sama sekali tidak bermaksud mereduksi ajaran Islam, mempertentangkan
antara Islam Arab dan Islam Nusantara, apalagi anti budaya Arab, rasis dan lain
sebagainya.
Sesungguhnya Islam Nusantara adalah sebuah ijtihad untuk menampilkan
ajaran Islam yang membumi di Nusantara. Islam Nusantara mengimpikan ajaran
Islam yang inklusif dengan peradaban bahari dan continental yang ada di
dalamnya. Sehingga ajaran Islam tidak selalu dihadap-hadapkan dengan peradaban
Nusantara. Dangan cara pandang seperti ini, diharapkan Islam Nusantara akan
mampu melahirkan berbagai disiplin keilmuan yang khas Nusantara, seperti fikih
nusantara, siyasah nusantara, muamalah nusantara, qanûn nusantara, perbankan
Islam nusantara, ekonomi Islam nusantara dan berbagai cabang ilmu Islam lain
atas dasar sosio-episteme kenusantaraan.
Tidak
berhenti pada titik itu, ilmu-ilmu sosial dan eksakta pun akan coba
dieksplorasi sedemikian rupa sehingga ilmu astronomi, teknik, pelayaran, pertanian,
dan peternakan nusantara yang pernah menguasai dunia pada masa nenek moyang
kita juga akan digali dan diketengahkan kembali body of knowledgenya
dengan baik. Sehingga bangsa ini
akan bangkit kembali dari keterpurukannya. Usaha ini sesungguhnya mirip dengan
proyek keilmuan yang bernama islamisasi ilmu dan teknologi atau integrasi
keilmuan (sains dan Islam).
Lebih jauh lagi, gagasan Islam Nusantara bertujuan untuk meng-counter
discourse terhadap paradigma keilmuan yang sangat sekularistik-positivistik,
yang serba teknologistik-materialistik dan juga penyeimbang terhadap budaya
sosial masyarkat modern yang cenderung materialistis, hedonistis dan pragmatis.
Bahkan, Islam Nusantara hendak mewujudkan budaya dan peradaban baru dunia yang
berbasis pada nilai-nilai luhur dan universal keislaman dan kenusantaraan.
Dengan demikian gagasan Islam Nusantara bukan sekadar pepesan kosong, namun
merupakan proyek akademik, budaya dan peradaban sekaligus. Sebuah ikhtiar mulia
dari anak manusia Nusantara untuk mengangkat harkat dan martabatnya dalam
kontestasi global demi menggapai ridhaTuhan dan mengaktualisasikan risalah
Islam rahmatan lil alamin bagi semesta alam.
B. Memahami
Term Islam Nusantara
Definisi
tunggal yang diterima khalayak umum atas istilah Islam Nusantara memang belum
disepakati. Hal ini dikarenakan perbedaan sudut pandang ketika melihat dan
memaknai istilah Islam Nusantara. Misalnya ketika melihat Islam Nusantara
sebagai kajian dan penelitian sejarah, tentunya akan melahirkan makna yang
berbeda jika disandingkan dengan kelompok yang melihat Islam Nusantara sebagai
sebuah identitas keberagamaan, Identitas Dakwah dan faham.
Ketika Islam Nusantara dijadikan obyek kajian
dan penelitian sejarah, maka segala hal yang berkenaan dengan cara orang-orang
Nusantara memahami dan mengamalkan Islam, serta setiap jejak peradaban dan
kebudayaan nusantara yang terpengaruh oleh ajaran Islam, baik langsung maupun
tidak langsung adalah manifestasi dari Islam Nusantara.
Penelitian sejarah hanya mencari jawaban
atas status sesuatu; ada atau tidak.[1]
Penelitian sejarah hanya mencatat secara kronologis jejak-jejak kejadian maupun
ide-ide di masa lalu dengan menggunakan sumber-sumber yang telah dikumpulkan
dan telah divalidasi. Sebagai alat untuk memandang kenyataan yang terjadi di masa
lalu, sejarah tidak akan membedakan apakah suatu ide, ritual, karya tulis,
pemahaman tertentu di masa lalu dan sebagainya, masuk akal atau tidak, sesuai
ajaran agama atau tidak. Bahkan seaneh apa pun karya atau ide di masa lalu yang
berkenaan dengan Islam di Nusantara, atau seorang muslim dari Nusantara, ia
akan dipandang sebagai khazanah Islam Nusantara[2]
dan perlu dicatat dalam sejarah Islam Nusantara.
Seorang peneliti sejarah dapat
memasukkan apa saja yang berkenaan dengan kata Islam Nusantara. Pemakn aan
seperti ini disebut intensional definition (suatu definisi menentukan
arti suatu kata dengan menunjukkan kualitas-kualitas atau ciri-ciri yang
terkandung dalam kata ex: Es adalah air yang membeku) atau connotative
definition.[3] Pada
definisi semacam ini tidak menyebutkan satu persatu unsur-unsur yang terdapat
dalam sebuah istilah, apa saja yang
berkenaan dengan khazanah Islam Nusantara, bisa dijadikan obyek penelitian.
Jika suatu hal hanya berkenaan dengan
Nusantara atau Islam saja, maka hal tersebut tidak termasuk di dalam obyek
sejarah Islam Nusantara. Ketika kata Islam dipisahkan dari frase Nusantara,
maka banyak hal yang masuk dalam pengertian di atas, dan harus dibuang karena
dongeng-dongeng dan mitos –mitos yang bertentangan dengan nash dan akal sehat[4],
kepercayaan-kepercayaan maupun paham yang menyimpang[5]
dan sebagainya, tidak bisa dinisbatkan kepada Islam.
Banyak hal yang disimbolkan dengan
istilah, baik menggunakan kata atau frase yang memiliki lebih dari satu makna.
Makna (meaning) sebagaimana diungkap oleh Winfriend Noth, dalam handbook
of Semiotics. Terkadang makna
didefinisikan sebagai pemahaman konseptual atau tealitas dari sesuatu (real
entity) pada definisi ini makna berarti sebuah ide, konsep atau obyek itu
sendiri. Ada kalanya makna dimaksudkan sebagai hubungan yang ada antara entitas
semiotika (semiotic entities) dalam hal inilah makna dianggap sebagai
fungsi dan relasi antara kata yang
berfungsi sebagai penunjuk (signifier) dan konsep-konsep serta
makna-makna yang ada (Signified).[6]
Oleh karena itu frase Islam Nusantara
harus didefinisikan agar khalayak umum
dapat memahami tanpa menyisakan perdebatan tanpa guna. Secara etimologis
frase Islam Nusantara terdiri dari dua kata Islam dan Nusantara. Islam adalah
agama yang di turunkan kepada nabi Muhammad SAW yang berpedoman pada al-Quran
dan Alhadist. Atau dalam bahasa yang lebih kontekstual Islam berarti sebuah
subtansi nilai dan seperangkat metodologi yang bisa saja ia memiliki kesamaan
atau juga pertemuan denga subtansi nilai yang berasal-muasal dari agama, ilmu,
atau bahkan tradisi di luarnya.
Sementara itu Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi IV
mencatat bahwa term Nusantara berarti sebutan bagi seluruh wilayah kepulauan
Indonesia.[7]
Maka merujuk pada dua definisi tersebut jika kita berdisiplin dengan kamus maka
secara etimologis Islam Nusantara berarti ajaran Islam yang ada di Indonesia
(Nusantara).
Adapun secara terminologi frase Islam
Nusantara merupakan tarkib idhafi yang menyimpan huruf jarr
berupa ba’(di), fi (di dalam), dan lam (untuk/bagi).
Dengan demikian Islam Nusantara dapat dijelaskan melalui gradasi pemaknaan
sesuai huruf jarr yang tersimpan
atau berada di antara kata Islam dan Nusantara.
Pertama jika
huruf jarr yang tersimpan diantara frase Islam dan Nusantara adalah
huruf ba’, maka konotasi maknanya adalah bersifat geografis yakni islam
yang berada di Wilayah kepulauan Nusantara. Kedua jika huruf jarr yang berada diantara frase Islam dan Nusantara
adalah huruf fi maka Islam Nusantara berarti ajaran Islam yang sudah dipahami,
dipraktekkan dan akhirnya menginternalisasi dalam diri dan kehidupan masyarakat
muslim Nusantara. Makna kedua ini bersifat antropo-sosio-kultural.
Ketiga jika
huruf jarr yang tersimpan antara frase Islam dan Nusantara adalah huruf lam,maka
yang dimaksud term Islam Nusantara adalah ajaran Islam yang agung nan mulia itu
diharapkan dapat memberikan hikmah dan manfaat bagi seluruh makhluq yang berada
di Nusantara. Tidak hanya itu, hikmah, manfaat, dan rahmat Islam juga
diharapkan dapat dirasakan bagi seluruh penghuni alam semesta. Atau dengan kata
lain Islam Rahmatan Lil ‘Alamiin. Dengan demikian tidak ada kontradiksi
antara term Islam Nusantara dengan Islam Rahmatan Lil ‘Alamiin sebab
pada akhirnya, ending dari konsep gerakan Islam Nusantara adalah pengejawantahan
ajaran Islam yang damai, toleran, santun, dan berkarakter bagi semesta.
Pemaknaan terakhir ini merupakan tujuan sekaligus output yang ingin
diwujudkan dari wacana Islam Nusantara.
Tiga
pemaknaan atas term Islam Nusantara di atas sekaligus menunjukkan bahwa,
secara akademik, wilayah kajian Islam Nusantara meliputi kajian geografis,
antropologis,sosiologis, dan futuristik. Kajian secara geografis
meliputi kajian Islam berbasis kawasan, demografis sekaligus historis.
Secara antropo-sosiologis meliputi kajian terhadap tipologi, budaya,
politik dan etika masyarakat Nusantara. Sedangkan Futuristik merupakan kajian
islam yang meliputi prediksi dan strategi mengenai perkembangan masyarakat
muslim Nusantara di masa mendatang.
Dari penjelasan tersebut dpat
disimpulkan bahwa wilayah kajian Islam Nusantara sangatlah luas dan multitema,
karena itu pelacakan epistemology, perumusan metodologi dan aksiologi yang khas
dan ilmiah harus terus digalakkan.
C. Urgensi
Kajian Islam Nusantara
Akhir-akhir
ini wilayah Nusantara secara geopolitik dan geokultur dalam percaturan politik
global menjadi kawasan menarik baik secara strategis maupun secara budaya dan
geografis. Hal ini dikarenakan Nusantara bukan sekedar geografis (kawasan) yang
terbentang antara benua Asia dan Australia, serta antara Samudra pasifik dan
samudra Hindia. Lebih jauh lagi Nusantara merupakan ecounter culture (pusat
pertemuan budaya) dari seluruh penjuru dunia mulai dari budaya Arab, India,
Persia, Cina, termasuk Budaya Barat. Sehingga melihirkan budaya yang sangat
khas. Karena itu Nusantara bukan sebuah konsep geografis(kawasan) melainkan
sebuah konsep filosofis dan menjadi perspektif (wawasan) sebuah pola pikir,
tata nilai, cara pandang, dalam menghadapi budaya yang datang. Oleh karenanya langkah strategis bagi kita
yang berada di bumi Nusantara adalah mengkaji Nusantara khususnya Islam
Nusantara yakni Islam yang mengakar dan bergumul dengan budaya Nusantara, dan
dari perspektif Nusantara, bukan perspektif Barat atau perspektif Arab yang
selalu bias memahami ke Nusantaraan.
Mengkaji Islam Nusantara dengan
menggunakan perspektif kenusantaraan ini diharapkan mampu memiliki keunggulan
di bidang akurasi (ketepatan) serta profonditas (kedalaman). Dengan demikian
akan memperoleh otoritas (kewenangan) yang lebih tinggi dibanding pengkaji yang
lain. Kajian Islam Nusantara bukan sekedar kajian terhadap kawasan Islam,
tetapi lebih penting lagi, merupakan kajian terhadap tata nilai Islam yang ada
di kawasan ini yang telah tumbuh dan berkembang selama berabad-abad. Peradaban
ini dikembangkan oleh para wali dan ulama’ sepanjang sejarah mulai dari Samudra
Pasai, Malaka, Palembang, Banten, Jawa, Pontianak, Bugis, Ternate, Tidore, di
Maluku dan Papua.
Islam yag datang ke Nusantara merupakan
islam yang paripurna karena telah mengalami dialog intensif dengan berbagai
peradaban besar dunia seperti Persia, Turki, India, Cina, Syria dan sebagainya.
Sehingga ketika sampai di Nusantara telah tampil dalam kondisi yang paling
paripurna dan islam model inilah yang kemudian diajarkan di padepokan dan
pondok pesantren. Baru kemudian dikukuhkan oleh para wali dan ulama dalam
konteks budaya Nusantara. Prinsip Islam itulah yang kemudian dikukuhkan sebagai
basis pengembangan budaya, kesusastraan, teknologi, termasuk dijadikan sumber
serta rujukan dalam merumuskan sistem politik kenegaraan sehingga muncul
berbagai kerajaan Islam yang memiliki konstitusi yang unggul sepadan dengan
negara lain yang maju.
Walaupun Islam yang masuk ke Nusantara
ini telah mengalami pergumulan dengan berbagai budaya dan oeradaban, namun
otentisitas dan kebenaran bahkan kemurniannya tetap terjaga. Apalagi dalam
tradisi Ahlus Sunnah Wal jama’ah sanad atau ketersambungan mata rantai ilmu itu
merupakan syarat dan rukun dalam pengembangan pengetahuan, sehingga ketersambungan
sanad keilmuan ikut menentukan integritas keilmuan itu sendiri. Dengan demikian
kebenaran dan kemurniannya selalu terjaga, apalagi yang mengembangkannya adalah
para ulama yang memiliki kecintaan pada ilmu yang tinggi, keikhlasan serta
integritas moralnya sangat terjaga.
Kajian serius terhadap Islam Nusantara
ini merupakan bagian dari upaya untuk memahami realitas. Dalam sejarahnya upaya
pemahaman manusia terhadap realitas menggunakan beberapa cara antara lain
menggunakan bayyan ilahi (pemahaman dari Tuhan yaitu Al-Qur’an) dan bayyan
nabawi (yaitu Sunnah) selain itu juga menggunakakn pemahaman akal (bayyanul
aqli) yaitu ijma’ dan qiyas, maka dari hal ini lahirlah fiqih
sehingga masyarakat bisa melakukan amaliyah dan ubudiyah secara terinci dalam
operasionalnya. Tentang kapan waktu sholat, syarat dan rukun sholat, tata cara
zakat, puasa, haji, dan sebagainya.
supaya gugusan moral yang ada dalam Al-Qur’an dan sunnah itu dijadikan pedoman
hidup sehari-hari dengan dirumuskannya etika dan sopan santun adab dan
tatakrama. Dengan adanya ilmu fikih dan ushul fikih pemahaman agama menjadi
dinamis. Sejalan dengan prinsip Taghoiyirul ahkam bil taghoiyirul azman (hukum
fikih selalu berubah sejalan dengan perubahan zaman). Setiap zaman memerlukan
rumusan hukum tersendiri.
Dilakukannya kontekstualisasi ajaran Islam
agar membawa berkah bagi seluruh umat, maka kalangan ulama NU terus melakukan
reaktualisasi pemikiran Islam. Langkah ini ditempuh dengan kerendahan, dalam
menjalankan qiyas, misalnya disebut dengan ilhaq ( penyamaan)
atau istiqra’ (survei). Sementara untuk menghindarkan istilah ijtihad
yang terlalu besar digunakan istilah Ijtihad Jama’i (yang berarti
ijtihad secara kolektif) dengan metode pengambilan hukum (ushul fikh) Al-qur’an
dan Sunnah bisa difahami. Karena itu kebenaran fikih bersifat relatif,
berbeda dengan al-quran dan sunnah yang bersifat mutlak. Karena itu pula, fikih
dapat dikritik dan direvisi demi kemaslahatan umat. Dalam konteks masyarakat
Indonesia yang majemuk, prinsip fikih tersebut tidak bisa diterapkan secara
eklusif, karena itu perlu ditransformasikan menjadi etika sosial agar menjadi
inklusif, menjadi kesepakatan bersama, sehingga bisa diterima oleh semua pihak.
Kajian Islam Nusantara diharapkan mampu
memberikan solusi jawaban terhadap problem yang dihadapi masyarakat dewasa ini
baik dalam bidang keilmuan maupun dalam bidang kehidupan nyata. Dengan demikian
kajian yang dilakukan akan memiliki dua manfaat sekaligus, yang pertama
manfaat kualifikasi akademis dan yang kedua memiliki relevansi
sosiologis. Kajian ini diharapkan bisa menjadi sarana mengkaji bagaimana para
ulama dan sultan Nusantara membangun strategi untuk mewujudkan masyarakat yang
ideal.
Langkah ini menjadi urgen karena kondisi
negara masih dilanda krisis baik krisis budaya, maupun krisis moral. Prinsip
Akhlakul karimah dalam aspek kehidupan perlu ditegakkan kembali dan bentuk dan
dasar negara yang ideal ini menjadi semakin ideal
[2] Pada hari Jum’at Tanggal 10 April 2015 dalam diskusi Pra
muktamar NU ke 33 yang diadakan oleh kelompok Gusdurian dan Pascasarjana STAINU
Jakarta di gedung PBNU, ada laporan diketemukan manuskrip dari pulau Sulawesi
yang memuat cerita tentang Siti Aminah Ibunda Rasulullah SAW adalah seorang wanita yang berasal dari
Sulawesi yang dinikahi oleh Abdullah bin Abi Tholib lalu melahirkan baginda
Rasulullah Muhammad SAW. Hal-hal seperti ini tentu saja tidak bisa diterima
dengan akal sehat dan bertentangan dengan bukti-bukti sejarah.
[3] Jhon Lyons, Semantic,
Vol. I (Cambridge: Combridge University Press, 1997), h. 158
[4] Fasal, 12 dan 13 bab 2
dari kitab Bustanu al- salatiin karya Al Raniri memuat beberapa mitos yang
tak masuk akal dan bertentangan dengan bukti-bukti sejarah. Dengan mengutip
pernyataan penulis sebelumnya, Al raniri mengatakan bahwa raja-raja melayu (
Pahang dan Malaka) merupaka Keturunan Iskandar Zulkarnain yang dikatakannya
poernah menginvasi India dan bersahabat dengan raja yang ditaklukkannya
tersebut. Banyak petunjuk membuktikan bahwa pemalsuan nasab seperti ini
bertujuan agar rakyat menjadi kagum dan patuh kepada keluarga kerajaan karena
mereka dianggapa keturunan Iskandar zulkarnain yang disebut di dalam Al- Qur’an. Sayangnya Al Raniri
tidak bisa membedakan antara Iskandar Zulkarnain dan Alexander The Greatsang
penakluk. Yang pertama adalah hamba Allah SWT yang sholih dan yang kedua adalah
orang Yunani- macedonia penyembah berhala. Untuk kejelasan atas kerancuan mitos ini silakan dibaca
artikel yang ditulis oleh Henretta Elizabeth Marshall dengan judul Alexander The Great Invades India, dan kitab sejarah karya Ibnu Katsir Al-Bidayah
Wa Al-Nihayah, (Kairo: Dar al-Kutub, 2003), Juz 2, h. 537-547.
[5] Tidak semua ajaran
Islamyang berkembang di Nusantara ini boleh dianggap benar dan harus
dilestarikan. Ada ajaran Islam di Nusantara ini yang menganggap NKRI sam dengan
makkah pada era Jahiliyyah sehingga kewajiban Syari’ah belum ada. Orang yang
tadinya rajin sholat ketika bergabung dengan kelompok Islam seperti ini justru
meninggalkan sholat. Namun mereka memperjuangkan berdirinya negara Islam dan
menganggap kaum muslim di luar mereka adalah kafir. Lihat Asep zaenal Usop, Ajaran dan Gerakan NII Kartosuwiryo NII KW IX
dan Ma’had Al-Zaitun, (Bandung: Tafakkur, 2011), h. 351-352.
[6] Lihat Winfried Noth, Handbook
of Semiotics, (Bloomington: Indiana University Press, 1995), h. 93.
[7] Lihat fariz Alniezar,
“Islam Nusantara, Jaran Kepang, dan Logika Soto”, NU Online, dimuat pada www.nu.or.id tanggal 19 Juli 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar