Rabu, 15 Maret 2017

ISLAM NUSANTARA

ISLAM NUSANTARA
Oleh: Nuruddin, M.Pd.I


A.  Pendahuluan
Gagasan baru tentang Islam Nusantara baru muncul secara terstruktur sekitar dua tahun terakhir. Pro kontra terhadap sebuah gagasan baru pasti datang silih berganti. Bahkan tidak jarang yang menuduh dan memberikan stigma negative atas sebuah gagasan tanpa berdialog terlebih dahulu dengan komunitas yang memunculkan gagasan tersebut.
Diakui atau tidak, NU adalah ormas Islam pertama yang mengarusutamakan gagasan Islam Nusantara itu, kendatipun harus diakui belum semua warga nahdliyin mengetahui dan memahami gagasan tersebut. Sejatinya gagasan itu lahir dari pergumulan akademik para elit intelektual NU, terutama Prof. Dr. KH. Said Agil Siraj dan para akademisi STAINU serta UNU Jakarta, terhitung sejak dibukanya Program Pascasarjana Kajian Islam Nusantara di penghujung tahun 2012 lalu. Kendatipun lahir dari rahim NU, Islam Nusantara akan dipersembahkan untuk peradaban dan keadaban seluruh umat manusia.
Ide Islam Nusantara sebenarnya sangat bersahaja. Bertitik tolak dari fakta bahwa mayoritas umat Islam Indonesia berpaham dan mengikuti ajaran AhlussunnahWaljamaah (Aswaja), dan sebagian besar pengikut Aswaja itu adalah warga NU. Dalam diskursus para elit intelektual NU, Aswaja adalah manhajul hayat wal fikr (pedoman hidup dan metode berfikir) dengan berbasis pada sikap mulia yaitu tawassuth(moderat), tawâzun (seimbang/equal), tasâmuh (toleran) dani'tidal (selalu berpihak pada kebenaran). Keempat pilar mulia itulah yang menjadi pijakan dalam bersikap, bertindak, bertutur kata, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Bahkan keempat pilar tersebut diharapkan dapat menjadi pisau analisis dalam pergumulan keilmuan dan dalam menghadapi benturan peradaban yang saling berpenetrasi, berinfiltrasi dan berakulturasi satu dengan lainnya.
Selain itu, NU dengan Aswajanya tetap menjadi garda terdepan dalam menjaga tradisi dan kearifan lokal Nusantara. Hal itu terlihat dan terkonstruk secara terstruktur dan massif dalam tardisi dan laku “Arumaniz” (baca; tradisi baca Aurad/wiridan, Ratib, Manaqib, Maulid, Nasyid, Istighotsah dan Ziarah ulama atau makam auliya').
Islam Nusantara sejatinya adalah gagasan progresif yang berikhtiar untuk mendialog kan antara inti sari ajaran Islam ala Aswaja dengan budaya dan peradaban Nusantara yang tidak saling bertentangan bahkan saling menyempurnakan satu sama lainnya. Sama sekali tidak bermaksud mereduksi ajaran Islam, mempertentangkan antara Islam Arab dan Islam Nusantara, apalagi anti budaya Arab, rasis dan lain sebagainya.
Sesungguhnya Islam Nusantara adalah sebuah ijtihad untuk menampilkan ajaran Islam yang membumi di Nusantara. Islam Nusantara mengimpikan ajaran Islam yang inklusif dengan peradaban bahari dan continental yang ada di dalamnya. Sehingga ajaran Islam tidak selalu dihadap-hadapkan dengan peradaban Nusantara. Dangan cara pandang seperti ini, diharapkan Islam Nusantara akan mampu melahirkan berbagai disiplin keilmuan yang khas Nusantara, seperti fikih nusantara, siyasah nusantara, muamalah nusantara, qanûn nusantara, perbankan Islam nusantara, ekonomi Islam nusantara dan berbagai cabang ilmu Islam lain atas dasar sosio-episteme kenusantaraan.
Tidak berhenti pada titik itu, ilmu-ilmu sosial dan eksakta pun akan coba dieksplorasi sedemikian rupa sehingga ilmu astronomi, teknik, pelayaran, pertanian, dan peternakan nusantara yang pernah menguasai dunia pada masa nenek moyang kita juga akan digali dan diketengahkan kembali body of knowledgenya dengan baik. Sehingga bangsa ini akan bangkit kembali dari keterpurukannya. Usaha ini sesungguhnya mirip dengan proyek keilmuan yang bernama islamisasi ilmu dan teknologi atau integrasi keilmuan (sains dan Islam).
Lebih jauh lagi, gagasan Islam Nusantara bertujuan untuk meng-counter discourse terhadap paradigma keilmuan yang sangat sekularistik-positivistik, yang serba teknologistik-materialistik dan juga penyeimbang terhadap budaya sosial masyarkat modern yang cenderung materialistis, hedonistis dan pragmatis. Bahkan, Islam Nusantara hendak mewujudkan budaya dan peradaban baru dunia yang berbasis pada nilai-nilai luhur dan universal keislaman dan kenusantaraan. Dengan demikian gagasan Islam Nusantara bukan sekadar pepesan kosong, namun merupakan proyek akademik, budaya dan peradaban sekaligus. Sebuah ikhtiar mulia dari anak manusia Nusantara untuk mengangkat harkat dan martabatnya dalam kontestasi global demi menggapai ridhaTuhan dan mengaktualisasikan risalah Islam rahmatan lil alamin bagi semesta alam.

B.  Memahami Term Islam Nusantara
Definisi tunggal yang diterima khalayak umum atas istilah Islam Nusantara memang belum disepakati. Hal ini dikarenakan perbedaan sudut pandang ketika melihat dan memaknai istilah Islam Nusantara. Misalnya ketika melihat Islam Nusantara sebagai kajian dan penelitian sejarah, tentunya akan melahirkan makna yang berbeda jika disandingkan dengan kelompok yang melihat Islam Nusantara sebagai sebuah identitas keberagamaan, Identitas Dakwah dan faham.
Ketika Islam Nusantara dijadikan obyek kajian dan penelitian sejarah, maka segala hal yang berkenaan dengan cara orang-orang Nusantara memahami dan mengamalkan Islam, serta setiap jejak peradaban dan kebudayaan nusantara yang terpengaruh oleh ajaran Islam, baik langsung maupun tidak langsung adalah manifestasi dari Islam Nusantara.
Penelitian sejarah hanya mencari jawaban atas status sesuatu; ada atau tidak.[1] Penelitian sejarah hanya mencatat secara kronologis jejak-jejak kejadian maupun ide-ide di masa lalu dengan menggunakan sumber-sumber yang telah dikumpulkan dan telah divalidasi. Sebagai alat untuk memandang kenyataan yang terjadi di masa lalu, sejarah tidak akan membedakan apakah suatu ide, ritual, karya tulis, pemahaman tertentu di masa lalu dan sebagainya, masuk akal atau tidak, sesuai ajaran agama atau tidak. Bahkan seaneh apa pun karya atau ide di masa lalu yang berkenaan dengan Islam di Nusantara, atau seorang muslim dari Nusantara, ia akan dipandang sebagai khazanah Islam Nusantara[2] dan perlu dicatat dalam sejarah Islam Nusantara.
Seorang peneliti sejarah dapat memasukkan apa saja yang berkenaan dengan kata Islam Nusantara. Pemakn aan seperti ini disebut intensional definition (suatu definisi menentukan arti suatu kata dengan menunjukkan kualitas-kualitas atau ciri-ciri yang terkandung dalam kata ex: Es adalah air yang membeku) atau connotative definition.[3] Pada definisi semacam ini tidak menyebutkan satu persatu unsur-unsur yang terdapat dalam sebuah istilah, apa saja  yang berkenaan dengan khazanah Islam Nusantara, bisa dijadikan obyek penelitian.
Jika suatu hal hanya berkenaan dengan Nusantara atau Islam saja, maka hal tersebut tidak termasuk di dalam obyek sejarah Islam Nusantara. Ketika kata Islam dipisahkan dari frase Nusantara, maka banyak hal yang masuk dalam pengertian di atas, dan harus dibuang karena dongeng-dongeng dan mitos –mitos yang bertentangan dengan nash dan akal sehat[4], kepercayaan-kepercayaan maupun paham yang menyimpang[5] dan sebagainya, tidak bisa dinisbatkan kepada Islam.
Banyak hal yang disimbolkan dengan istilah, baik menggunakan kata atau frase yang memiliki lebih dari satu makna. Makna (meaning) sebagaimana diungkap oleh Winfriend Noth, dalam handbook of Semiotics.  Terkadang makna didefinisikan sebagai pemahaman konseptual atau tealitas dari sesuatu (real entity) pada definisi ini makna berarti sebuah ide, konsep atau obyek itu sendiri. Ada kalanya makna dimaksudkan sebagai hubungan yang ada antara entitas semiotika (semiotic entities) dalam hal inilah makna dianggap sebagai fungsi  dan relasi antara kata yang berfungsi sebagai penunjuk (signifier) dan konsep-konsep serta makna-makna yang ada (Signified).[6]
Oleh karena itu frase Islam Nusantara harus didefinisikan agar khalayak umum  dapat memahami tanpa menyisakan perdebatan tanpa guna. Secara etimologis frase Islam Nusantara terdiri dari dua kata Islam dan Nusantara. Islam adalah agama yang di turunkan kepada nabi Muhammad SAW yang berpedoman pada al-Quran dan Alhadist. Atau dalam bahasa yang lebih kontekstual Islam berarti sebuah subtansi nilai dan seperangkat metodologi yang bisa saja ia memiliki kesamaan atau juga pertemuan denga subtansi nilai yang berasal-muasal dari agama, ilmu, atau bahkan tradisi di luarnya.
Sementara itu  Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi IV mencatat bahwa term Nusantara berarti sebutan bagi seluruh wilayah kepulauan Indonesia.[7] Maka merujuk pada dua definisi tersebut jika kita berdisiplin dengan kamus maka secara etimologis Islam Nusantara berarti ajaran Islam yang ada di Indonesia (Nusantara).
Adapun secara terminologi frase Islam Nusantara merupakan tarkib idhafi yang menyimpan huruf jarr berupa ba’(di), fi (di dalam), dan lam (untuk/bagi). Dengan demikian Islam Nusantara dapat dijelaskan melalui gradasi pemaknaan sesuai huruf jarr  yang tersimpan atau berada di antara kata Islam dan Nusantara.
Pertama jika huruf jarr yang tersimpan diantara frase Islam dan Nusantara adalah huruf ba’, maka konotasi maknanya adalah bersifat geografis yakni islam yang berada di Wilayah kepulauan Nusantara. Kedua jika huruf jarr  yang berada diantara frase Islam dan Nusantara adalah huruf fi maka Islam Nusantara berarti ajaran Islam yang sudah dipahami, dipraktekkan dan akhirnya menginternalisasi dalam diri dan kehidupan masyarakat muslim Nusantara. Makna kedua ini bersifat antropo-sosio-kultural.
Ketiga jika huruf jarr yang tersimpan antara frase Islam dan Nusantara adalah huruf lam,maka yang dimaksud term Islam Nusantara adalah ajaran Islam yang agung nan mulia itu diharapkan dapat memberikan hikmah dan manfaat bagi seluruh makhluq yang berada di Nusantara. Tidak hanya itu, hikmah, manfaat, dan rahmat Islam juga diharapkan dapat dirasakan bagi seluruh penghuni alam semesta. Atau dengan kata lain Islam Rahmatan Lil ‘Alamiin. Dengan demikian tidak ada kontradiksi antara term Islam Nusantara dengan Islam Rahmatan Lil ‘Alamiin sebab pada akhirnya, ending dari konsep gerakan Islam Nusantara adalah pengejawantahan ajaran Islam yang damai, toleran, santun, dan berkarakter bagi semesta. Pemaknaan terakhir ini merupakan tujuan sekaligus output yang ingin diwujudkan dari wacana Islam Nusantara.
Tiga  pemaknaan atas term Islam Nusantara di atas sekaligus menunjukkan bahwa, secara akademik, wilayah kajian Islam Nusantara meliputi kajian geografis, antropologis,sosiologis, dan futuristik. Kajian secara geografis meliputi kajian Islam berbasis kawasan, demografis sekaligus historis. Secara antropo-sosiologis meliputi kajian terhadap tipologi, budaya, politik dan etika masyarakat Nusantara. Sedangkan Futuristik merupakan kajian islam yang meliputi prediksi dan strategi mengenai perkembangan masyarakat muslim Nusantara di masa mendatang.
Dari penjelasan tersebut dpat disimpulkan bahwa wilayah kajian Islam Nusantara sangatlah luas dan multitema, karena itu pelacakan epistemology, perumusan metodologi dan aksiologi yang khas dan ilmiah harus terus digalakkan.
C.  Urgensi Kajian Islam Nusantara
Akhir-akhir ini wilayah Nusantara secara geopolitik dan geokultur dalam percaturan politik global menjadi kawasan menarik baik secara strategis maupun secara budaya dan geografis. Hal ini dikarenakan Nusantara bukan sekedar geografis (kawasan) yang terbentang antara benua Asia dan Australia, serta antara Samudra pasifik dan samudra Hindia. Lebih jauh lagi Nusantara merupakan ecounter culture (pusat pertemuan budaya) dari seluruh penjuru dunia mulai dari budaya Arab, India, Persia, Cina, termasuk Budaya Barat. Sehingga melihirkan budaya yang sangat khas. Karena itu Nusantara bukan sebuah konsep geografis(kawasan) melainkan sebuah konsep filosofis dan menjadi perspektif (wawasan) sebuah pola pikir, tata nilai, cara pandang, dalam menghadapi budaya yang datang.  Oleh karenanya langkah strategis bagi kita yang berada di bumi Nusantara adalah mengkaji Nusantara khususnya Islam Nusantara yakni Islam yang mengakar dan bergumul dengan budaya Nusantara, dan dari perspektif Nusantara, bukan perspektif Barat atau perspektif Arab yang selalu bias memahami ke Nusantaraan.
Mengkaji Islam Nusantara dengan menggunakan perspektif kenusantaraan ini diharapkan mampu memiliki keunggulan di bidang akurasi (ketepatan) serta profonditas (kedalaman). Dengan demikian akan memperoleh otoritas (kewenangan) yang lebih tinggi dibanding pengkaji yang lain. Kajian Islam Nusantara bukan sekedar kajian terhadap kawasan Islam, tetapi lebih penting lagi, merupakan kajian terhadap tata nilai Islam yang ada di kawasan ini yang telah tumbuh dan berkembang selama berabad-abad. Peradaban ini dikembangkan oleh para wali dan ulama’ sepanjang sejarah mulai dari Samudra Pasai, Malaka, Palembang, Banten, Jawa, Pontianak, Bugis, Ternate, Tidore, di Maluku dan Papua.
Islam yag datang ke Nusantara merupakan islam yang paripurna karena telah mengalami dialog intensif dengan berbagai peradaban besar dunia seperti Persia, Turki, India, Cina, Syria dan sebagainya. Sehingga ketika sampai di Nusantara telah tampil dalam kondisi yang paling paripurna dan islam model inilah yang kemudian diajarkan di padepokan dan pondok pesantren. Baru kemudian dikukuhkan oleh para wali dan ulama dalam konteks budaya Nusantara. Prinsip Islam itulah yang kemudian dikukuhkan sebagai basis pengembangan budaya, kesusastraan, teknologi, termasuk dijadikan sumber serta rujukan dalam merumuskan sistem politik kenegaraan sehingga muncul berbagai kerajaan Islam yang memiliki konstitusi yang unggul sepadan dengan negara lain yang maju.
Walaupun Islam yang masuk ke Nusantara ini telah mengalami pergumulan dengan berbagai budaya dan oeradaban, namun otentisitas dan kebenaran bahkan kemurniannya tetap terjaga. Apalagi dalam tradisi Ahlus Sunnah Wal jama’ah  sanad atau ketersambungan mata rantai ilmu itu merupakan syarat dan rukun dalam pengembangan pengetahuan, sehingga ketersambungan sanad keilmuan ikut menentukan integritas keilmuan itu sendiri. Dengan demikian kebenaran dan kemurniannya selalu terjaga, apalagi yang mengembangkannya adalah para ulama yang memiliki kecintaan pada ilmu yang tinggi, keikhlasan serta integritas moralnya sangat terjaga.
Kajian serius terhadap Islam Nusantara ini merupakan bagian dari upaya untuk memahami realitas. Dalam sejarahnya upaya pemahaman manusia terhadap realitas menggunakan beberapa cara antara lain menggunakan bayyan ilahi (pemahaman dari Tuhan yaitu Al-Qur’an) dan bayyan nabawi (yaitu Sunnah) selain itu juga menggunakakn pemahaman akal (bayyanul aqli) yaitu ijma’ dan qiyas, maka dari hal ini lahirlah fiqih sehingga masyarakat bisa melakukan amaliyah dan ubudiyah secara terinci dalam operasionalnya. Tentang kapan waktu sholat, syarat dan rukun sholat, tata cara zakat, puasa, haji,  dan sebagainya. supaya gugusan moral yang ada dalam Al-Qur’an dan sunnah itu dijadikan pedoman hidup sehari-hari dengan dirumuskannya etika dan sopan santun adab dan tatakrama. Dengan adanya ilmu fikih dan ushul fikih pemahaman agama menjadi dinamis. Sejalan dengan prinsip Taghoiyirul ahkam bil taghoiyirul azman (hukum fikih selalu berubah sejalan dengan perubahan zaman). Setiap zaman memerlukan rumusan hukum tersendiri.
Dilakukannya kontekstualisasi ajaran Islam agar membawa berkah bagi seluruh umat, maka kalangan ulama NU terus melakukan reaktualisasi pemikiran Islam. Langkah ini ditempuh dengan kerendahan, dalam menjalankan qiyas, misalnya disebut dengan ilhaq ( penyamaan) atau istiqra’ (survei). Sementara untuk menghindarkan istilah ijtihad yang terlalu besar digunakan istilah Ijtihad Jama’i (yang berarti ijtihad secara kolektif) dengan metode pengambilan hukum (ushul fikh) Al-qur’an dan Sunnah bisa difahami. Karena itu kebenaran fikih bersifat relatif, berbeda dengan al-quran dan sunnah yang bersifat mutlak. Karena itu pula, fikih dapat dikritik dan direvisi demi kemaslahatan umat. Dalam konteks masyarakat Indonesia yang majemuk, prinsip fikih tersebut tidak bisa diterapkan secara eklusif, karena itu perlu ditransformasikan menjadi etika sosial agar menjadi inklusif, menjadi kesepakatan bersama, sehingga bisa diterima oleh semua pihak.
Kajian Islam Nusantara diharapkan mampu memberikan solusi jawaban terhadap problem yang dihadapi masyarakat dewasa ini baik dalam bidang keilmuan maupun dalam bidang kehidupan nyata. Dengan demikian kajian yang dilakukan akan memiliki dua manfaat sekaligus, yang pertama manfaat kualifikasi akademis dan yang kedua memiliki relevansi sosiologis. Kajian ini diharapkan bisa menjadi sarana mengkaji bagaimana para ulama dan sultan Nusantara membangun strategi untuk mewujudkan masyarakat yang ideal.
Langkah ini menjadi urgen karena kondisi negara masih dilanda krisis baik krisis budaya, maupun krisis moral. Prinsip Akhlakul karimah dalam aspek kehidupan perlu ditegakkan kembali dan bentuk dan dasar negara yang ideal ini menjadi semakin ideal



[1] Suharsimi Arikunto, Manajemen penelitian, (Jakarta: Rieneka Cipta, 2000), h. 67.
[2] Pada hari Jum’at  Tanggal 10 April 2015 dalam diskusi Pra muktamar NU ke 33 yang diadakan oleh kelompok Gusdurian dan Pascasarjana STAINU Jakarta di gedung PBNU, ada laporan diketemukan manuskrip dari pulau Sulawesi yang memuat cerita tentang Siti Aminah Ibunda Rasulullah SAW  adalah seorang wanita yang berasal dari Sulawesi yang dinikahi oleh Abdullah bin Abi Tholib lalu melahirkan baginda Rasulullah Muhammad SAW. Hal-hal seperti ini tentu saja tidak bisa diterima dengan akal sehat dan bertentangan dengan bukti-bukti sejarah.
[3] Jhon Lyons, Semantic, Vol. I (Cambridge: Combridge University Press, 1997), h. 158
[4] Fasal, 12 dan 13 bab 2 dari kitab Bustanu al- salatiin karya Al Raniri memuat beberapa mitos yang tak masuk akal dan bertentangan dengan bukti-bukti sejarah. Dengan mengutip pernyataan penulis sebelumnya, Al raniri mengatakan bahwa raja-raja melayu ( Pahang dan Malaka) merupaka Keturunan Iskandar Zulkarnain yang dikatakannya poernah menginvasi India dan bersahabat dengan raja yang ditaklukkannya tersebut. Banyak petunjuk membuktikan bahwa pemalsuan nasab seperti ini bertujuan agar rakyat menjadi kagum dan patuh kepada keluarga kerajaan karena mereka dianggapa keturunan Iskandar zulkarnain yang disebut  di dalam Al- Qur’an. Sayangnya Al Raniri tidak bisa membedakan antara Iskandar Zulkarnain dan Alexander The Greatsang penakluk. Yang pertama adalah hamba Allah SWT yang sholih dan yang kedua adalah orang Yunani- macedonia penyembah berhala. Untuk kejelasan  atas kerancuan mitos ini silakan dibaca artikel yang ditulis oleh Henretta Elizabeth Marshall dengan judul   Alexander The Great Invades India,  dan kitab sejarah karya Ibnu Katsir Al-Bidayah Wa Al-Nihayah, (Kairo: Dar al-Kutub, 2003), Juz 2, h. 537-547.
[5] Tidak semua ajaran Islamyang berkembang di Nusantara ini boleh dianggap benar dan harus dilestarikan. Ada ajaran Islam di Nusantara ini yang menganggap NKRI sam dengan makkah pada era Jahiliyyah sehingga kewajiban Syari’ah belum ada. Orang yang tadinya rajin sholat ketika bergabung dengan kelompok Islam seperti ini justru meninggalkan sholat. Namun mereka memperjuangkan berdirinya negara Islam dan menganggap kaum muslim di luar mereka adalah kafir. Lihat Asep zaenal Usop,  Ajaran dan Gerakan NII Kartosuwiryo NII KW IX dan Ma’had Al-Zaitun, (Bandung: Tafakkur, 2011), h. 351-352.
[6] Lihat Winfried Noth, Handbook of Semiotics, (Bloomington: Indiana University Press, 1995), h. 93.
[7] Lihat fariz Alniezar, “Islam Nusantara, Jaran Kepang, dan Logika Soto”, NU Online, dimuat pada www.nu.or.id tanggal 19 Juli 2015.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar