Perkembangan Filsafat Pendidikan Islam dan Tokoh-tokohya
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
PEMBAHASAN
Perkembangan Filsafat
Pendidikan Islam dan Tokoh-tokohya
A.
Periode Awal Perkembangan Islam
Seperti diketahui dari latar belakang
sejarah, bahwa Islam bukan diturunkan diwilayah terasing, melainkan diwilayah
yang terletak pada lalu-lintas dagang yang pelabuhan transito (penghubung)
antara dua kekuatan adikuasa yang dominan ketika itu, yakni Persia di Timur dan
Romawi di Barat. Namun demikian, kondisi masyarakat Arab yang memiliki
mobilitas yang tinggi itu secara sosial politik masih tergolong sebagai
masyarakat yang relatif primitif. Latar belakang kehidupan masyarakat nomaden
masih merupakan ciri umum kehidupan masyarakat Arab sekitar kota Mekah dan
Madinah. Dengan demikian kedatangan Islam membawa suatu revolusi besar dalam
mengubah tatanan sosial politik dan sosial budaya. Masyarakat nomaden yang
hidup berpuak-puak berubah menjadi masyarakat berpemerintahan, dan dari
masyarakat penyembah berhala menjadi suatu ummah yang diikat suatu
akidah yang sama. Masyarakat Arab dan latar belakang kehidupannya, setelah
kedatangan Islam ternyata mampu menjadi masyarakat yang berperadaban.
Padahal sebelum kedatangan Islam masyarakat Arab
adalah terdiri atas masyarakat pribumi yang buta aksara, meskipun kemampuan
hafalan mereka rata-rata mengagumkan. Waktu kedatangan Islam, menurut Ibn
Khaldun baru ada 17 orang Quraisy yang pandai tulis baca, ditambah empat orang
wanita. Ubaidah Ibn Jarrah, Thalhah Ibn Zubair, Yazid Ibn Abi Sufyan, Abu
Huzaifah Ibn ‘Utbah, Khatib Ibn Amr, Abu Samah Ibn Abd al-Asad al-Mahzumi, Aban
Ibn Sa’id Ibn Ash dan saudaranya Khalid, Khawaitib Ibn Abd al-‘Azy al-‘Amiry,
Abu Sufyan Ibn Harb, Mu’awiyah Ibn Abi Sufyan, Juhaimah Ibn al-Shalah dan
al-‘Alla’Ibn al-Hadhramy. Adapun yang perempuan adalah Hafsah Bint ‘Umar,
‘Aisyah hanya bisa baca tapi tak bisa menulis, demikian pula Ummu Salamah.
Pemikiran mengenai falsafat pendidikan pada periode awal ini merupakan
perwujudan dari kandungan ayat-ayat al-Quran dan hadits, yang keseluruhannya
membentuk kerangka umum ideologi Islam. Dengan kata lain, kata Hasan
Langgulung, bahwa pemikiran pendidikan Islam dilihat dari segi al-Quran dan
hadits, tidaklah muncul sebagai pemikiran yang terputus, terlepas hubungannya
dengan masyarakat seperti tang digambarkan oleh Islam. Pemikiran itu berada
dalam kerangka paradigma umum bagi masyarakat seperti yang dikehendaki oleh
Islam. Dengan demikian pemikiran mengenai pendidikan yang kita lihat dalam
al-Quran dan hadits mendapatkan nilai ilmiahnya
B.
Periode
Klasik
Periode klasik mencakup rentang masa pasca pemerintahan khulafa al-Rasyidin
hingga awal masa imperialis barat. Rentang waktu tersebut meliputi awal kekuasaan
Bani Ummayah zaman keemasan Islam dan kemunduran kekuasaan Islam secara politis
hingga ke awal abad XIX. Beberapa
pertimbangan yang dijadikan dasar pembagian.
Faktor pertama, sistem pemerintahan. Seperti diketahui, sistem pemerintahan
periode Rasul dan para Khalifah yang empat berbeda dengan sistem pemerintahan
di periode-periode sesudahnya. Yang jelas, memasuki era kekuasaan Bani Umayyah,
sistem pemerintahan Islam lebih bersifat monarki absolut (kerajaan).
Pengangkatan Khalifah sudah tidak didasarkan pada prinsip pemilihan dan
petunjukkan atas dasar baiat, melainkan didasarkan keturunan. Sistem khalifah
berganti menjadi sistem kerajaan. Adanya perubahan sistem dalam pemerintahan
ini mempengaruhi pula berbagai perubahan yang menyangkut kepentingan
kepemerintahan seperti kelembagaan, peristilahan dan lainnya. Untuk itu
diperlukan perangkat khusus yang diperkirakan dapat menunjang penyaelengaraan
sistem tersebut.
Faktor kedua, yaitu luas wilayah. Sejak periode pemerintahan Umar Ibn
Khattab (634-644 M), wilayah kekuasaan Islam sudah meluas ke luar jazirah Arab
hingga ke Mesir dan Irak. Tapi baru di zaman kekuasaan Bani Umayyah Timur
(660-749 M.), pusat pemerintahan dipindahkan ke Damaskus. Dan dalam kelanjutan
dinasti ini, kemudian ketika menguasai Andalusia (755-1031 M.) pusat
pemerintahan berada di Granada. Selanjutnya, di Timur kekuasaan Bani Umayyah
diambil alih oleh Bani Abbas (749-1258 M.) dengan ibukotanya Baghdad.
Adapun faktor ketiga, yaitu kemajuan yang dicapai dalam berbagai bidang
seperti politik, pemerintahan, ilmu pengetahuan, sastra, arsitektur dan ekonomi
memungkinkan negera-negera Islam untuk mengembangkan diri. Berbagai kelembagaan
didirikan sejarah dengan kebutuhan dan tuntutan kemajuan yang dicapai. Dan
kelembagaan itu sendiri pada dasarnya lahir dari hasil pemikiran para ahli
bidangnya, terutama yang berkaitan dengan pendidikan.
Kemudian faktor keempat, yaitu hubungan antar bangsa. Di zaman klasik ini,
terutama melalui kekuasaan Bani Abbas di Baghdad, kerajaan Islam sudah menjadi
negara adikuasai. Secara politis memang kerajaan-kerajaan Islam merupakan
kerajaan besar. Selain itu wilayah kerajaan ini menjadi pusat peradaban dunia
ketika itu. Di wilayah Timur Baghdad dikenal sebagai kota Metropolitan, pusat
peradaban dunia di Timur. Dan status yang sama, untuk wilayah Barat (Eropa)
diwakili oleh Granada di Andalusia.
Dari dasar pertimbangan tersebut, maka diketahui bahwa di awal periode
klasik terlihat munculnya sejumlah pemikiran mengenai pendidikan. Pemikiran
mengenai pendidikan tersebut tampak disesuaikan dengan kepentingan dan tempat
serta waktu. Beberapa karya ilmuan Muslim pada periode klasik yang
karya-karyanya secara langsung memuat pembahasan mengenai pendidikan yaitu:
1. Ibn Qutaibah
(213-276 H.)
Nama lengkap Ibn Qutaibah adalah Abu Muhammad Abdullah Ibn Muslim Qutaibah
al-Dainuri. Ia dilahirkan di Kufah tahun 213 H. Dan meninggal dalam usia 63
tahun (276 H.). Walaupun sebagai seorang keturunan Parsi, sebagian besar
usianya dihabiskan di Baghdad. Di kota ini ia belajar berbagai disiplin ilmu
dari sejumlah ulama terkemuka di zamannya seperti Abu al-Fadl al-Rayyani, Ishaq
Ibn Rahawiyah al-Mahruzi al-Nasaiburi dan Abu Hatim. Menurut Imam Sayuti, Ibn
Qutaibah dikenal sebagai seorang ilmuan dalam bahasa Arab dan sejarah. Selain itu
ia dikenal sebagai ilmuwan yang produktif. karya yang terkenal : al-Ma’ani
al-Kabirah, syakl al-Qur’an, Gharib al-Qur’an, Ta’wil Mukhtalaf al-Hadits,
Fadhl al-Arab, al-Syi’r wa al-Syu’ara; al-Ma’arif, al-Radd ‘ala al Jahimmiyah
wa al-Musyibbihah, Imamah wa al-Siyasah, dan ‘Uyun al-Akhbar.
Pemikirannya menyangkut tentang masalah pendidikan bagi kaum wanita, ilmu yang
bermanfaat dan nilai-nilai bagi yang mengembangkannya
Abu Sa’id
Sahnun dan Muhammad Ibn Sahnun
Abu Sa’id Sahnun Ibn Habib al-Tanubi lahir di kairawan sekitar tahun 160 H.
Kemudian menuntut ilmu di Mesir, Hijaz dan Syam. Karya ilmuwan ini dibidang
pendidikan kurang dikenal. Tetapi ilmuwan yang kemudian lebih dikenal adalah
Muhammad Ibn Sahnun al- Tanubi yang juga berasal dari Kairawan. Muhammad Ibn
Sahnun lahir tahun 202 H. Ia merupakan pemikir yang mempelopori pembaharuan
pendidikan di zaman keemasan Islam.
Muhammad Ibn Sahnun adalah pencetus pemikiran pendidikan yang lepas dari
keterkaitannya dengan sastra dan mashab-mashab pemikiran falsafat. Disini
terlihat Ibn Sahnun mulai menampak kepemikiran pendidikan sebagai cabang ilmu
pengetahuan yang mandiri. Buku karanganya mengenai pendidikan berjudul Adab
al-Mu’allimin merupakan pembahasan tentang pendidikan pertama kali yang
dipisah dari hubungan integralnya dengan ilmu-ilmu keislaman, seperti halnya
hasil karya ilmuwan muslim pendahulunya. Dengan demikian muhammad Ibn Sahnun
dapat digolongkan menjadi pencetus pemikiran kependidikan islam di zaman
klasik.
3. Ibn Masarrah
(269-319)
Muhammad Ibn Abdillah Ibn
Masarrah al-Jabali adalah seorang Muslim Andalusia (spanyol). Ia dilahirkan di
Cordova pada tahun 269 H. (883 M), dan meninggal ditempat perkampungan
(komunitas Sufi atau Zawiyah) dekat Cordova tahun 319/931 M. Ibn
Masarrah dingenal sebagai seorang sufi dan filosof Muslim pertama dibelahan
wilayah Islam barat. Namun demikian Ibn masarrah juga menulis pemikirannya
mengenai pendidikan dalam bukunya berjudul kitab al-Tabsirat (Buku pengajaran),
dan kitab al-Huruf (Lambang-lambang huruf).
Dalam pemikiran
falsafatnya, Ibn masarrah juga menguraikan tentang sifat-sifat jiwa manusia. Ia berpendapat bahwa secara
individual, jiwa manusia merupakan pancaran dari jiwa universal (al-Nafs).
Keberadaan jiwa dalam tubuh manusia dikiaskannya sebagai terkungkung itu, manusia harus membersihkan dirinya
secara sepiritual, denga cara mendekatkan diri kepada Tuhan.
4. Ibn
Maskawaih (330-421 H.)
Abu ali Ibn maskawaih
dilahirkan di Ray tahun 330 H/940 M. Karya tulis Ibn maskawaih seluruhnya
berjumlah 18 judul, dan kebanyakan berhubungan dengan masak kejiwaan dan
akhlak. Slah satu dari karya Ibn Maskawaih yang memuat pemikiran pendidikannya
adalah termuat dalam bukunya Tahzib al-Akhlaq (pendidikan Akhlak). Ia juga
berpendapat bahwa penulisan sejarah harus didasarkan atas kajian yang bersifat
ilmiah dan filosofis.
Menurut pandanganya,
manusia adalah makhluk yang memiliki keistemewaan dari kenyataannya manusia
memiliki daya pikir. Berdasarkan daya pikir itu pula manusia dapat membedakan
antara yang benar dan yang salah, serta yang baik dan yang buruk. Dan manusia
yang paling sempurna kemanusiannya adalah mereka yang paling benar berfikirnya
serta yang paling mulia usaha dan perbuatannya. Selain itu ia berpendapat bahwa
untuk menunjukkan kebaikan manusia harus membina kerjasama. Usaha untuk
melakukan kebaikan merupakan indikator dari tingkat kesempurnaan dan tujuan
dari penciptaan manusia itu sendiri.
5. Ibn Sina
(370-428 H.)
Abu Ali al-Husein Ibn
Abdullah Ibn Sina lahir di Bukhara tahun 370 H/980 M). Ia dianggap sebagai
orang yang cerdas, karen adiusia yang sangat muda (17 tahun) Ibn Sina telah
dikenal sebagao filosof dan dokter termuka di Bukhara, selain itu Ibn Sina juga
dikenal sebagai tokoh yang luar biasa. Kecuali sebagai seorang ilmuwan ia juga
dapat melakukan berbagai pekerjaan dengan baik seperti dalam bidang kedokteran,
pendidikan, penasehat politik, pengarang dan bahkan menjadi waris ( menteri)
Sebagi ilmuwan Ibn sina
telah berhasil mennyumbangkan buah pemikirannya dalam buku karangannya yang
berjumlah 276 buah. Diantara karya besarnya adalah al-Syifa’ berupa
ensiklopodi tentang fisika, matematika, logika dan matematika. Kemudian al-Qanun
al-Tibb adalah sebuah ensiklopodi kedokteran.
6. Al-Ghazali
(450/1058-505/1111 M.)
Abu Hamid Muhammad Ibn
Muhammad al-Ghazali dilahirkan di Thusia di daerah Khurasan (persia), tahun
450H/1058 M. Sejak kecil, al-Gazali dikenal sebagai anak yang sngat senang
dengan ilmu pengatahua. Jadi tak mengherankan sejak masa kanak-kanak ia telah
belajar kepada sejumlah guru di kota kelahiranya, antara lain Ahmad Ibn
muhammad al-Radzikani. Selain itu juga tak segan-segan ia belajar kepada guru
yang jauh dari kota kelahirannya. Diantara guru yang terkenal yang pernah jadi
gurunya ialah Imam al Juwaini (Imam al-Haramain), sewaktu al_Gazali menuntut
ilmu di Nausabur.
Melihat kemampuan dan
kecerdasan al-Gazali, al-Juwaini memberinya gelar “bahrun mughriq” (laut yang
menenggelamkan).Al-Gazali baru meninggalkan Naisabur setelah Imam al-Juwaini
meninggal dunia tahun 1085 M.(478 H.) Dari Naisabur al-Ghazali menuju baghdad
dan menjadi guru besar di universitas yang didirikan Nidham al-Mulk seorang
Perdana Menteri Sultan Bani Saljuk. Di tengah-tengah kesibukannya sebagai guru
besar, ternyata al-Gazali yang kreatif ini sempat mengarang sejumlah buku ilmu
pengetahuan, antara lain Al-Basith,Al-Wajiz.Khulashah Ilmi Fiqh, Al-Munqil
fi Ilm Al-Jadal, Ma’khaz Al-Kalaf, Lubab Al-Nadzar, Tahsin Al-Ma’akhidz
dan Mamadi’ wa Al-Ghayat fi Fan Al-Khalaf.
Menurut pandangan
al-Ghazali, ilmu dapat dilihat dari kedua segi, yaitu ilmu sebagai proses dan
ilmu sebagai obyek. Dari segi pertama, al-Ghazali membagi ilmu menjadi ilmu hissiyah,
ilmu aqliyah dan ilmu ladunni. Ilmu hissiyah diperoleh
manusia melalui penginderaan (alat dria),sedangkan ilmu aqliyah
diperoleh melalui kegiatan berpikir (akal). Sedangkan ilmu ladunni
diperoleh langsung dari Allah, tanpa melalui proses penginderaan atau pemikiran
(nalar), melainkan melalui hati dalam bentuk ilham.
C.
Periode
Modern
Merujuk kepada pembagian
priodisasi sejarah Islam yang dikemukakan oleh Prof. Dr. Harun Nasution, bahwa
periode modern dimulai sejak tahun 1800 M. Menjelang periode modern ini,
setelah Bani Abbas dan Bani Ummayah secara politik dapat dilumpuhkan, kekuasaan
islam masih dapat dipertahankan. Tiga kerajaan besar yaitu Kerajaan Turki
Utsmani (Eropa Timur dan Asia-Afrika), Kerajaan Safawi (Persia) dan kerajaan
Mughol (India) masih memegang hegemoni kekuasaan Islam. Namun menjelang abad
ke-17 dan awal abad ke-18 kerajaan-kerajaan Islam tersebut, satu persatu dapat
dikuasai bangsa-bangsa Eropa (Barat).[1][2]
Beberapa pemikir
pendidikan yang tersebar di sejumlah kekuasaan Islam tersebut sebagai tokoh
yang ada kaitannya dengan perkembangan filsafat pendidikan Islam pada periode
modern, seperti:
1.
Rifa’at
Badawi Rafi’ al-Thahthawi (1801-1873)
Al-Thahthawi seorang
pemikir pendidikan Mesir, yang dilahirkan dikota Thahtha (Mesir bagian selatan)
tahun 1801. Ayahnya masih mempunyai hubungungan keturunan Husein cucu Muhammad
SAW. Sebagai anak yang cemerlang, al-Thahthawi kemudian berhasil menamatkan
pelajarannya di al-Azhar. Dan setelah tamat berturut-turut iamengembangkan
karir kependidikannya sebagai tenaga pengajar di al-Azhar, dan tahun 1824
menjadi iman tentara. Kedudukannya sebagai iman tentara ini pula kemudian yang
membawa ia untuk belajar diperancis atas biaya Muhammad Ali[2][3].
Selama belajar di perancis
al-Thahthawi berusaha melengkapi wawasan ilmiahnya dengan berbagai cabang ilmu
pengetahuan seoerti sejarah, teknik, ilmu bumi, politik dan lain-lain. Selain
itu ia juga sempat menerjemahkan sebanyak 12 buku dan risalah, antara lain
risalah tentang sejarah Alexander Macedonia, buku-buku mengenai pertambangan,
mengenai akhlak dan adat istiadat berbagai bangsa, mengenai ilmu bumi, risalah
mengenai teknik, mengenai hak-hak manusia, tentang kesehatan dan sebagainya.
Adapun ide-ide dan
pemikiran kependidikannya ia tulis dalam buku al-Mursyid al-Amin Lil Banati
wa al-Banin (pedoman bagi pendidikan putra dan putri). Di dalam buku ini
dapat dilihat tentang pemikiran Thahthawi. Ia menulis ide-idenya mengenai
pendidikan meliputi:
Pertama, pembagian jenjang pendidikan atas tingkat permulaan, menengan dan
pendidikan tinggi sebagai pendidikan akhir. Kedua, pendidikan diperlukan,
karena pendidikan merupakan salah satu jalan untuk mencapai kesejahteraan.
Ketiga, pendidikan mesti dalaksanakan dan diperuntukkan bagi segala golongan.
Makanya tidak ada perbedaan antara pendidikan untuk anak laki-laki dan anak perempuan. Pemikiran
mengenai persamaan antara laki-laki dan pendidikan anak perempuan ini dinilai
sebagai mencontoh ide pemikiran Yunani.[3][4]
- Muhammad Abduh (1849-1905)
Muhammad Abduh dilahirkan
tahun 1849 (1266 H.) di salah satu desa di Delta Mesir bagian hilir. Ayahnya
adalah seorang petani keturunan Turki yang telah lama menetap di Mesir, dan
ibunya keturunan Arab yang memiliki hubungan darah dengan suku Arab asal
keturunan khalifah Umar Ibn Khattab. tokoh ini yang memulai membongkar
kejumudan umat Islam dengan konsep rasionalitasnya, pemikirannya tentang
pendidikan yang disebarkan melalui majalah al-Manar dan al-‘Urwat
al-Wusqa menjadi rujukan bagi tokoh pembaharu di dunia Islam. Muhammad
Rasyid Ridha meneruskan gagasannya melalui majalah al-Manar dan Tafsir
al-Manar, Kasim Amin dengan bukunya Tahrir al-Mar’ah, Farid Wajdi
dengan bukunya Dairat al-Ma’arif, Syeikh Thanthawi Jauhari melalui
karangannya al-Taj al-Marshuh bi al-Jawahir al-Qur’an wa al-Ulum. Dan
masih banyak lagi tokoh pembaharuan dalam Islam yang mendasarkan pola pikirnya
merujuk konsep pemikiran Muhammad Abduh.[4][5]
3.
Isma’il
Raj’i al-Faruqi (1921-1986)
Al-Faruqi dilahirkan di
Yaifa (Palestina) pada 1 Januari 1921. Latar belakang pendidikan al-Faruqi
adalah pendidikan Barat. Pendidikan awalnya di College des Feres yang ia
selesaikan tahun 1936. Kemudian sarjana mudanya di Amerika University
ditamatkannya tahun 1941. Adapun gelar Masterbya dari Indiana University serta
Harvard University dalam bidang filsafat. Kemudian gelar dokter diperolehnya
dari Indiana University. Selanjutnya selama empat tahun ia menekuni studi
keislaman di Univesitas al_Azhar (kairo).
Karir kepegawaian al-Faruqi diawali dari pegawai pemerintah Palestina di
bawah mandat Inggris. Kemudian menjadi Gubernur terakhir Propinsi Galilee (yang
tahun 1947 direbut Israel). Hal ini pula yang kemudian mendorong al-Faruqi hijrah ke Amerika untuk melanjutkan
studinya.
Adapun karir akademik al-Faruqi diawali sebagai dosen di McGill University
(Kanada) tahun 1959. Selama menjadi dosen, ia menyempatkan diri untuk mendalami
Judaisme dan Kristen.Tahun 1961, ia pindah ke Karachi, bergabung dengan Central
Institute for Islamic Research, dan tahun 1963 ia kembali ke Amerika mengajar
di Fakultas Agama pada University of Chicago.
Setelah mendirikan program pengkajian Islam di University Syracuse(New
York) dan pindah ke Temple University(Philadelphia) ia tetap memantapkan karirnya sebagai tenaga ahli dalam
pengkajian islam. Di Syracuse Univeysity
tempat ia menekuni Pusat Kajian Islam yang ia dirikan ini pula Isma’il
Raj’i al-Faruqi mengakhiri karirnya. Tahun 1986 ia meninggal dunia sebagai
korban pembunuhan.[5][6]
Sebagai ilmuwan, al-Faruqi dikenal cukup produktif . Ia telah menulis
sekitar 20 buku dan 100 artikel. Melalui tulisan itu pula pemikiran al-Faruqi
tersebar luas ke negara-nagara Islam di seluruh dunia. Di antara buku-bukunya
yang pentimg adalah Christian Ethics, An Historical Atlas of Religions of
The World, Trialogue of Abrahamic Faith, dan The Cultural Atlas
of Islam. pandangannya bahwa umat
Islam sekarang berada dalam keadaan yang lemah, dan dualisme sistem pendidikan
yang melahirkan kejumudan dan taqlid buta. Oleh sebab itu pendidikan harus
dikembangkan ke arah yang lebih modern dan berorientasi ketauhidan.[6]
BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Filsafat
berusaha untuk memahami realitas secara menyeluruh, dengan menjelaskannya
secara umum dan sistematis. Begitu pula dengan filsafat pendidikan berusaha
memahami pendidikan dalam keseluruhan, menafsirkannya dengan konsep-konsep
umum, yang akan membimbing kita dalam memilih tujuan dan kebijakan pendidikan.
Dengan cara yang sama filsafat mengkoordinasi hasil-hasil penemuan sains yang
berlainan dan berbeda-beda, maka filsafat pendidikan menafsirkan
penemuan-penemuan tersebut berkaitan dengan pendidikan..
Dalam filsafat terdapat berbagai mazhab,
aliran-aliran, seperti materialisme, idealisme, realisme, pragmatisme, dan
lain-lainnya. Karena filsafat pendidikan merupakan terapan dari filsafat,
sedangkan filsafat beraneka ragam alirannya, maka dalam filsafat pendidikan pun
kita akan temukan berbagai aliran, sekurang-kurangnya sebanyak aliran dalam
filsafat itu sendiri.
Suatu aktifitas dapat disebut pendidikan apabila
didalamnya terdapat tiga unsur yaitu
dasar pendidikan, komponen pokok pendidikan, dan makna pendidikan.
Demikian pentingnya komponen pendidikan sehingga pendidikan tidak dapat
dikatakan pendidikan apabila tidak memiliki komponen pendidikan.
B. RUMUSAN
MASALAH
1. Apa
pengertian dari komponen pendidikan Islam?
2. Apa
saja komponen pendidikan Islam?
3. Bagaimana
peran komponen pendidikan Islam?
C. TUJUANPEMBAHASAN
1. Untuk
mengetahui pengertian dari komponen pendidikan Islam.
2. Untuk
mengetahui komponen pendidikan Islam.
3. Untuk
mengetahui peran komponen pendidikan Islam.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Definisi
filsafat
1. Definisi filsafat secara etimologis
Secara etimologis, kata
filsafat memiliki arti yang sepadan dengan kata “falsafah” dalam bahasa Arab atau kata “philosophy” dalam bahasa Inggris, atau kata “philosophie” dalam bahasa Perancis dan Belanda, atau “philosophier” dalam bahasa Jerman.
Semua kata itu berasal dari kata Latin “philosophia”
sebuah kata benda yang merupakan hasil dari kegiatan “philosophien” sebagai kata kerjanya. Kata “philosophia” berasal dari bahasa Yunani, yakni ”philein” (mencintai) atau “philia” (persahabatan, atau tertarik
kepada…) dan “Sophos” (kebijaksanaan, keterampilan, pengalaman
praktis, intelegensi). Kata yang hampir sama dengan “philien” atau “philia” dan
“Sophos” tersebut juga dijumpai dalam
bahasa Latin, yaitu: “philos” (teman
atau sahabat) dan “Sophia”
(kebijaksanaan)
Dengan demikian, secara
etimologis kata filsafat dapat diartikan sebagai cinta atau kecenderungan akan
kebijaksanaan, atau cinta secara mendalam akan kebijaksanaan atau cinta
sedalam-dalamnya akan kearifan atau cinta secara sungguh-sungguh terhadap
pandangan, kebenaran (love of wisdom or
love of the vision or truth).
2.
Definisi
filsafat secara terminologis
Sementara itu, secara terminologis filsafat dapat
diartikan sebagai ilmu yang mempelajari dengan sungguh-sungguh hakikat
kebenaran segala sesuatu. Filsafat dapat pula dimengerti sebagai proses
reflektif dari budi manusia yang mengarah pada kejelasan (clarification), kecerahan (enlightenmen),
keterangan (explanation), pembenaran
(justification), pengertian sejati (insight), dan penyatupaduan (integration). Filsafat dalam arti formal
biasa dipahami sebagai proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan
sikap yang dijunjung tinggi.
Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan bahwa
filsafat adalah hasil akal manusia untuk mencari dan memikirkan suatu kebenaran
dengan sedalam-dalamnya.
B. Definisi
filsafat pendidikan
Filsafat pendidikan menurut
Al-Syaibany (dalam uyoh, 2011:71) adalah:
“Pelaksanaan
pandangan falsafah dan kaidah falsafah dalam bidang pendidikan. Filsafat itu
mencerminkan satu segi dari segi pelaksanaan falsafah umum dan menitikberatkan
kepada pelaksanaan prinsip-prinsip dan kepercayaan-kepercayaan yang menjadi
dasar dari falsafah umum dalam menyelesaikan masalah-masalah pendidikan secara
praktis”
Filsafat pendidikan bersandarkan
pada filsafat formal atau filsafat umum.Dalam arti bahwa masalah-masalah
pendidikan merupakan karakter filsafat[7].
Masalah-masalah pendidikan akan berkaitan dengan masalah-masalah filsafat umum,
seperti:
a)
Hakikat kehidupan
yang baik, karena pendidikan akan berusaha untuk mencapainya
b)
Hakikat
manusia, karena manusia merupakan makhluk yang menerima pendidikan
c)
Hakikat
masyarakat, karena pendidikan pada dasarnya merupakan suatu proses social
d)
Hakikat
realitas akhir, karena semua pengetahuan akan berusaha untuk mencapainya.
Selanjutnya Al-Syaibany (dalam uyoh, 2011:72)
berpandangan bahwa filsafat pendidikan, seperti halnya filsafat umum, berusaha
mencari yang hak dan hakikat serta masalah yang berkaitan dengan proses
pendidikan. Filsafat pendidikan berusaha untuk mendalami konsep-konsep
pendidikan dan memahami sebab-sebab yang hakiki dari masalah pendidikan.
Filsafat pendidikan berusaha juga membahas tentang segala yang mungkin
mengarahkan proses pendidikan.
Kneller (dalam uyoh, 2011:72), filsafat pendidikan
merupakan aplikasi filsafat dalam lapangan pendidikan.Seperti halnya filsafat,
filsafat pendidikan dapat dikatakan spekulatif, preskiptif, dan analitik.
Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan bahwa
filsafat pendidikan adalah terapan dari filsafat umum yang dilaksanakan dalam
pandangan dan kaidah bidang pendidikan yang berusaha membangun teori-teori
hakikat manusia, masyarakat, dan dunia, menentukan tujuan-tujuan yang harus
dicapai dalam lapangan pendidikan.
C. Aliran-aliran filsafat pendidikan
1. Filsafat
pendidikan Idealisme
a.
Realitas
Filsafat idealisme memandang bahwa
realitas akhir adalah roh, bukan materi, bukan fisik.Parmenides, filosof dari
Elea (Yunani Purba) berkata, “Apa yang tidak
dapat dipikirkan adalah tidak nyata”. Plato, seorang filosof idealisme
klasik (Yunani Purba) menyatakan bahwa realitas terakhir adalah dunia cita.
Dunia cita merupakan dunia mutlak, tidak berubah, dan asli serta abadi.
Realitas akhir tersebut sebenarnya telah ada sejak semula pada jiwa manusia.
Hakikat
manusia adalah jiwanya, rohaninya, yakni apa yang disebut “mind”. Mind merupakan suatu wujud yang mampu menyadari dunianya,
bahkan sebagai pendorong dan penggerak semua tingkah laku manusia. Jiwa (mind) merupakan faktor utama yang
menggerakkan semua aktivitas manusia, badan atau jasmani tanpa jiwa tidak
memiliki apa-apa.
Plato
mengatakan bahwa jiwa manusia sebagai roh
yang berasal dari ideeksternal dan
sempurna. Bagi Immanuel Kant, manusia adalah bebas dan ditentukan. Manusia
bebas, sepanjang ia sebagai spirit
(jiwa), sedangkan ia terikat berarti manusia juga merupakan makjluk fisik yang
tunduk terhadap hukum alam.
Pandangan
tentang anak, kaum idealis yakin bahwa anak merupakan bagian dari alam
spiritual yang memiliki pembawaan spiritual sesuai dengan potensinya. Apabila
anak mempelajari dunia alamiah, maka ia akan melibatkan atau menganggapnya
sebagai mesin yang hebat dan besar, yang berfungsi tanpa isi dan tujuan.
b.
Pengetahuan
Tentang
teori pengetahuan, idealisme mengemukakan pandangannya bahwa pengetahuan yang
diperoleh melalui indera tidak pasti dan tidak lengkap, karena dunia hanyalah
merupakan tiruan belaka, sifatnya maya, yang menyimpang dari kenyataan yang
sebenarnya.Pengetahuan yang benar hanya merupakan hasil akal belaka, karena
akal dapat membedakan bentuk spiritual murni dari benda-benda di luar
penjelmaan material.
c.
Nilai
Menurut
pandangan idealisme, nilai itu absolut.Apa yang dikatakan baik, benar, salah,
cantik atau tidak cantik, secara fundamental tidak berubah dari generasi ke
generasi. Pada haikatnya nilai itu tetap.Nilai tidak diciptakan manusia,
melainkan merupakan bagian dari alam semesta.
d.
Pendidikan
Dalam
hubungannya dengan pendidikan, idealisme memberi sumbangan yang besar terhadap
perkembangan teori pendidikan, khususnya filsafat pendidikan. Tokoh idealisme
merupakan orang-orang yang memiliki nama besar. Sampai sekarang orang akan
mengakui kebesaran hasi pemikirannya, baik memberikan perstujuan maupun
memberikan kritik bahkan pemikiran.
2. Filsafat
pendidikan Realisme
Pada
dasarnya realism merupakan filsafat yang memandang realitas secara
dualitis.realisme berbeda dengan materialisme dan idealisme yang bersifat
monistis. realisme berpendapat bahwa hakikat realitas ialah terdiri atas dunia
fisik dan dunia rohani. realisme membagi realitas menjadi dua bagian, yaitu
subjek yang menyadari dan mengetahui di satu pihak, dan dipihak lainnya adlah
adanya realita di luar manusia, yang dapat dijadikan sebagai objek pengetahuan
manusia.
Power
(dalam uyoh,2011:112) mengemukakan implikasi filsafat pendidikan Realisme
sebagai berikut:
1) Tujuan
pendidikan
Penyesuaian
hidup dan tanggung jawab sosial
2) Kedudukan
siswa
Dalam hal pelajaran, menguasai
pengetahuan yang handal, dapat dipercaya.Dalam hal disiplin, peraturan yang
baik dalah esensial untuk belajar. Disiplin mental dan moral dibutuhkan untuk
memperoleh hasil yang baik
3) Peranan
guru
Menguasai
pengetahuan, terampil dalam teknik mengajar dan dengan keras menuntut prestasi
dari siswa.
4) Kurikulum
Kurikulum
komprehensif mencakup semua pengetahuan yang berguna.Berisikan pengetahuan
liberal dan pengetahuan praktis.
5) Metode
Belajar tergantung pada pengalaman, baik langsung atau tidak langsung.
Metode penyampaian harus logis dan psikologis. Metode Conditioning (SR) merupakan metode utama bagi realisme sebagai
pengikut behaviorisme.
3. Filsafat
pendidikan Materialisme
Materialisme berpandangan bahwa hakikat realism adalah bukan materi,
bukanrohani, bukan spiritual, atau supernatural.
Pada dasarnya realisme merupakan filsafat yang memandang realitas secara
dualitis.realisme berbeda dengan materialisme dan idealisme yang bersifat
monistis. realisme berpendapat bahwa hakikat realitas ialah terdiri atas dunia
fisik dan dunia rohani. Realisme membagi realitas menjadi dua bagian, yaitu
subjek yang menyadari dan mengetahui di satu pihak, dan dipihak lainnya adalah
adanya realita di luar manusia, yang dapat dijadikan sebagai objek pengetahuan
manusia.
Power
(dalam uyoh,2011:117) mengemukakan implikasi filsafat pendidikan Materialisme
sebagai berikut:
1. Tema
Manusia
yang baik dan efisien dihasilkan dengan proses pendidikan terkontrol secara
ilmiah dan saksama.
2. Tujuan
pendidikan
Perubahan
perilaku, mempersiapkan manusia dengan kapasitasnya, untuk tanggung jawab hidup
sosial dan pribadi yang kompleks.
3. Kurikulum
Isi
pendidikan mencakup pengetahuan yang dapat dipercaya (handal), dan
diorganisasi, selalu berhubungan dengan sasaran perilaku.
4. Metode
Semua
pelajaran dihasilkan dengan kondisionisasi (SR Conditioning), operant
conditioning, reinforcement, pelajaran berpogram dan kompetensi.
5. Kedudukan siswa
Tidak ada
kebebasan.Perilaku ditentukan oleh kekuatan dari luar.Pelajarn sudah
dirancang.Siswa dipersiapkan untuk hidup.Mereka dituntuk untuk belajar.
6. Peranan
guru
Guru
memiliki kekuasaan untuk merancang dan mengontrol proses pendidikan. Guru dapat
mengukur kualitas dan karakter hasil belajar siswa.
4. Filsafat
pendidikan Pragmatisme
Istilah pragmatism berasal dari perkataan “pragma” artinya praktik atau
aku berbuat. Maksudnya bahwa makna segala sesuatu tergantung dari hubungannya
dengan apa yang dilakukan.
Power (dalam uyoh,2011:133) mengemukakan implikasi filsafat pendidikan
Pragmatisme sebagai berikut:
1. Tujuan
pendidikan
Memberi
pengalaman untuk penemuan hal-hal baru dalam hidup sosila dan pribadi.
2. Kedudukan
siswa
Suatu
organisme yang memiliki kemampuan yang luar biasa dan kompleks untuk tumbuh
3. Peranan
guru
Mengawasidan
membimbing pengalaman belajar siswa, tanpa mengganggu minat dan kebutuhannya.
4. Kurikulum
Berisi pengalaman
yang teruji yang dapat diubah.Minat dan kebutuhan siswa yang dibawa kesekolah
dapat menentukan kurikulum.Menghilangkan perbedaan antara pendidikan liberal
dengan pendidikan praktis atau pendidikan jabatan.
5. Metode
Metode
aktif, yaitu learning by doing
(belajar sambil bekerja)
5. Filsafat
pendidikan Eksistensialisme
Filsafat eksistensialisme itu unik yakni memfokuskan pada
pengalaman-pengalaman individu.Secara umum, eksistensialisme menekankan pilihan
kreatif, subyektivitas pengalaman manusia, dan tindakan kongkret dari
keberadaan manusia atas setiap skema rasional untuk hakikat manusia atau
realitas.
power (dalam uyoh,2011:140) mengemukakan implikasi filsafat pendidikan
Eksistensialisme sebagai berikut:
1.
Tujuan pendidikan
Memberi
bekal pengalaman yang luas dan komprehensif dalam semua bentuk kehidupan
2. Status
siswa
Makhluk
rasional dengan pilihan bebas dan tanggung jawab atas pilihannya.Suatu komitmen
terhadap pemenuhan tujuan pribadi.
3. Peranan
guru
Melindungi
dan memelihara kebebasan akademik, di mana mungkin guru pada hari ini, besok
lusa mungkin menjadi murid.
4. Kurikulum
Yang
diutamakan adalah kurikulum liberal.Kurikulum liberal merupakan landasan bagi
kebebasan manusia.Kebebasan memiliki aturan-aturan.Oleh karena itu, di sekolah
diajarkan pendidika sosial, untuk mengajar “respek”
(rasa hormat) terhadap kebebasan untuk semua. Respek terhadap kebebasan bagi
yang lain adalah esensial. Kebebasan dapat menimbulkan konflik.
5. Metode
Belajar
tergantung pada pengalaman, baik langsung atau tidak langsung.Metode penyampaian
harus logis dan psikologis.Metode Conditioning
(SR) merupakan metode utama bagi realisme sebagai pengikut behaviorisme.
6. Filsafat
pendidikan Progresivisme
Progresivisme bukan merupakan suatu bangunan filsafat atau lairan
filsafat yang berdiri sendiri, melainkanmerupakan suatu gerakan dan perkumpulan
yang didirikan pada tahun 1918.
Gerakan progresif terkenal luas karena reaksinya terhadap formalism dan
sekolah tradisional yang membosankan, yang menekankan disiplin keras, belajar
pasif, dan banyak hal-hal kecil yang tidak bermanfaat dalam pendidikan. Lebih
jauh gerakan ini dikenal karena dengan himbauannya kepada guru-guru: “ kami
mengharapkan perubahan, serta kemajuan yang lebih cepat setelah perang dunia
pertama”. Banyak guru yang mendukungnya, sebab gerakan pendidikan progresivisme
merupakan semacam kendaraan mutakhir untuk digelarkan.
Kritik terhadap Progresivisme:
1. Siswa
tidak mempelajari warisan sosial, mereka tidak mengetahui apa yang seharusnya
diketahui oleh orang terdidik.
2. Mengabaikan
kurikulum yang telah ditentukan, yang menjadi tradisi sekolah
3. Mengurangi bimbingan dan pebgaruh
guru. Siswa memilih aktivitas sendiri
4. Siswa menjadi orang yang
mementingkan diri sendiri, ia menjadi manusia yang tidak memiliki self discipline, dan tidak mau berkorban
demi kepentingan umum.
7. Filsafat
pendidikan Perenialisme
Perenialisme merupakan suatu
aliran dalam pendidikan yang lahir pada abad kedua puluh.Perenialisme menentang
pandangan progresivisme yang menekankan perubahan dan sesuatu yang
baru.Perenialisme memandang situasi dunia dewasa ini penuh kekacauan,
ketidakpastian, dan ketidakaturan, terutama dalam kehidupan moral, intelektual,
dan sosio-kultural.Oleh karena itu, perlu ada usaha untuk mengamankan
ketidakberesan itu.
Beberapa prinsip pendidikan perenialisme
secara umum, yaitu:
1.
Walaupun perbedaan lingkungan, namun pada hakikatnya
manusia di mana pun dan kapan pun ia berada adalah sama. Tujuan pendidikan
adalah sama dentujuan hidup, yaitu untuk mencapai kebijakan dan kebajikan.
Pendidikan harus sama bagi semua orang, di mana pun dan kapan pun ia berada,
begitu pula tujuan pendidikan harus sama, yaitu memperbaiki manusia sebagai
manusia.
2.
Rasio merupakan atribut
manusia yang paling tinggi. Manusi harus menggunakannya untuk mengarahkan sifat
bawaannya, sesuai dengan tujuan yang ditentukan. Manusia adalah bebas, namun
mereka harus belajar untuk memperluas pikiran dan mengontrol seleranya.
3.
Tugas pendidikan adalah memberikan pengetahuan
tentang kebenaran yang pasti dan abadi. Kurikulum diorganusasi dan ditentukan
terlebih dahulu oleh orang dewasa, dan ditujukan untuk melatih aktivitas akal,
untuk mengembangkan akal.
4.
Pendidikan bukan merupakan peniruan dari hidup.
Melainkan merupakan suatu persiapan untuk hidup.
5.
Siswa seharusnya mempelajari karya-karya besar dalam
literatur yang menyangkut sejarah, filsafat, seni, begitu juga dalam literatur
yang berhubungan dengan kehidupan social, terutama politik dan ekonomi.
8. Filsafat pendidikan Esensialisme
Esensialisme
suatu filsafat pendidikan konservatif yang pada mulanya dirumuskan sebagai
suatu kritik terhadap trend-trend progresif di sekolah-sekolah.
Esensialisme,
yang memiliki beberapa kesamaan dengan perenialisme, berpendapat bahwa kultur
kita telah memiliki suatu inti pengetahuan umum yang harus diberikan di sekolah-sekolah
kepada para siswa dalam suatu cara yang sistematik dan berdisiplin.
Power
(dalam uyoh,2011:165) mengemukakan implikasi filsafat pendidikan Esensialisme
sebagai berikut:
1) Tujuan
pendidikan
Transmisi
kebudayaan untuk menentukan solidaritas social dan kesejahteraan umum
2) Kedudukan
siswa
Sekolah
bertanggung jawab atas pemberian pengajaran yang logis atau dapat
dipercaya.Sekolah
berkuasa untuk menuntut hasil belajar siswa.Siswa belajar ke sekolah untuk
belajar, bukan untuk mengatur pelajaran.
3) Peranan
guru
Guru harus terdidik. Secara moral ia merupakan orang
yang dapat dipercaya dan secara teknis harus memiliki kemahiran dalam
mengarahkan proses belajar.
4) Kurikulum
Di
pendidikan dasar berupa membaca, menulis, berhitung.Keterampilan berkomunikasi
adalah esensial untuk mencapai prestasi skolastik dan hidup sosial yang layak.
Kurikulum sekolah berisikan apa yang harus diajarkan.
5) Metode
Metode
tradisional, menekankan pada inisiatif guru.
9. Filsafat
pendidikan Rekonstruksionalisme
Rekonstruksionalisme merupakan
kelanjutan dari gerakan progresivisme.Gerakan ini lahir didasari atas suatu
anggapan bahwa kaum progresif hanya memikirkan dan melibatkan diri dengan
masalah-masalah masyarakat yang ada pada saat sekarang ini.
Power
(dalam uyoh,2011:171) mengemukakan implikasi filsafat pendidikan
Rekonstruksionalisme sebagai berikut:
1) Tema
Pendidikan merupakan usaha sosial.Misi
sekolah adalah untuk meningkatkan rekonstruksi sosial.
2) Tujuan
pendidikan
Pendidikan bertanggung jawab dalam
menciptakan aturan sosial yang ideal.Transmisi budaya adalah budaya esensial
dalam masyarakat yang majemuk. Transmisi budaya harus mengenal fakta budaya
yang majemuk tersebut
3) Kedudukan
siswa
Nilai-nilai budaya siswa yang
dibawa ke sekolah merupakan hal yang berharga. Keluhuran pribadi dan tanggung
jawab sosial ditingkatkan, manakala rasa hormat diterima semua latar belakang
budaya
4) Peranan
guru
Guru harus menunjukkan rasa hormat
yang sejati (ikhlas) terhadap semua budaya, baik dalam memberi pelajaran maupun
dalam hal lainnya. Pelajaran sekolah harus mewakili budaya masyarakat.
5) Kurikulum
Kurikulum sekolah tidak boleh
didominasi oleh budaya mayoritas maupun oleh budaya yang ditentukan atau
disukai.Semua budaya dan nilai-nilai yang berhubungan berhak untuk mendapatkan
tempat dalam kurikulum.
6) Metode
Sebagai kelanjutan dari pendidikan
progresif, metode aktivitas dibenarkan (learning
by doing).
PENUTUP
A. Kesimpulan
Filsafat
pendidikan adalah terapan dari filsafat umum yang dilaksanakan dalam pandangan
dan kaidah bidang pendidikan yang berusaha membangun teori-teori hakikat
manusia, masyarakat, dan dunia, menentukan tujuan-tujuan yang harus dicapai
dalam lapangan pendidikan.
Aliran-aliran
filsafat pendidikan yang memiliki pengaruh terhadap pengembangan pendidikan
antara lain Idealisme, Realisme, Materialisme, Pragmatisme, Eksistensialisme,
Progresivisme, Perenialisme, Esensialisme, dan Rekonstruksionalisme.
B.
Saran
“Al insanu
Mahallul khoto’ wan nisyan” ( manusia itu tempatnya salah dan lupa. Tak dapat
dipungkiri makalah ini masih belum dikatakan sempurna, masih banyak kesalahan
ataupun kekhilafan disana-sini, saya berharap kritik dan saran konstruktif dari
pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi,
asmoro. 2010. Filsafat Ilmu. Jakarta
: Raja Grafindo Persada
Bernadien,
win usuluddin. 2011. Membuka Gerbang
Filsafat. Yogyakarta : Pustaka Belajar
Ihsan,
fuad. 2010. Filsafat Ilmu. Jakarta :
Rineka Cipta
Sadulloh,
uyoh. 2011. Filsafat Pendidikan.
Bandung : Alfabeta
Solihin.2007.
Perkembangan Pemikiran Filsafat dari
Klasik Hingga Modern.Bandung : Pustaka Seti